Ratih, Semoga Kau Bahagia....

Oleh. Ases ID Bakrie


"Sudahlah....

Mungkin cinta hanya bisa menyenangkan kita berdua saja, keluargaku tak

akan sampai merasakannya" wajah Ratih tertunduk menyembunyikan tangis, walau isaknya masih terdengar jelas oleh Yusuf.

"Jangan bilang begitu dik, mereka akan bahagia pula bila melihat kita bahagia."Yusuf terus lekat menatap Ratih yg makin menunduk.

"Apakah abang bisa menjamin...??" suaranya sedikit meninggi "kakakku dan adik-adikku belum bisa mencukupi kehidupannya,

walau dua kakaku sudah menikah,

tapi mereka masih saja menjadi beban Ayah dan Ibuku yang hanya buruh tani Bang, yg hanya bisa mendapatkan makan utk hari ini saja,

entah esok atau lusa qta makan apalagi...."

tangisnya pun semakin menjadi. "Apalagi dengan suaminya Kak Lasmi sudah hampir 5 bulan

belum ada kabarnya, entah dimana dia ?" padahal kandungannya sudah mulai menua"

"Iya, abang ga akan pernah bisa menjamin itu, adik sendiri tau abang hanya sebagai buruh sawah, sama seperti Ayahmu tapi

abang punya niat untuk menikahi adik dan membahagiakannya, sekarang tabungan abang sudah cukup untuk upacara pernikahan

walau hanya sederhana saja, dan nanti abang akan memulai usaha baru sebagai distributor pupuk dari teman abang yang ada dikota,

dan semoga saja bisa membantu keluarga adik nantinya, yang penting dalam hidup itu ada harafan utk menjadi lebih baik"

Yusuf coba menghibur Ratih.

"Nanti ?!...harafan...?! bukan itu yg kami butuhkan hari ini, bisa makan atau tidak... Ingat bang, qta delapan bersaudara,

Ayah dan ibuku sudah mulai sakit-sakitan,

Kaka dan adik2ku belum ada yg bisa diandalkan dan dua adikku yg paling kecil minggu kemarin divonis kurang gizi oleh mantri puskesmas"

Ratih menaikkan kepalanya dan menatap kecemasan diatas padi yang sudah tampak menguning.

"Ya, Abang ingat itu, dan kenapa itu Abang meminta adik untuk menikah, supaya beban Ayah & Ibumu sedikit menjadi ringan"

"Abang mungkin bisa bilang begitu sekarang, tapi nanti...abang akan merasakan yg aku rasakan sekarang dan mungkin saja abang menyesali pernikahan itu"

Ratih membuka rantang yg baru saja ia lupakan.

"Astagfirullah....Ratih, kenapa berfikir seperti itu, apakah adik meragukan apa yg abang katakan...abang perbuat selama ini, adakah janji abang yang pernah dikhianati,

berfikirlah sederhana, jgn mendahului Allah...terlalu jauh yang kau cemaskan dik"

Air muka Yusuf tampak bersedih, membelakangi Ratih...memandang kerbau yang sedang berkubang diwaktu jedanya.

"Bang....!" Ratih memanggil lirih

"Iya dik, Yusuf menoleh dan kembali pandangannya pada punggung kerbau itu yg telah setia menemani hari-harinya.

"Masih ingat dengan Pa Hasan...?

"Iya...masih, Juragan tanah dari kampung sebelah....yg pernah diceritakan Adik bulan lalu itu kan ?! Yusuf balik bertanya.

"Betul bang, tiga hari yang lalu dia datang lagi meminta pada ayah dan ibuku supaya aku mau menikah dengannya" Ratih menuang air teh dari poci kecil yg ia bawa.

"Terus apa kata Ayah dan Ibu ?" Yusuf menatap mata Ratih seolah meragukan kesetiaan janjinya,

yang sudah mereka ikrarkan pada malam purnama dua tahun yang lalu di acara syukuran panen desa .

"Ayah Ibuku menyerahkan semuanya kepadaku"

"Abang kagum pada kedua orangtuamu dik...walau dalam serba kekurangan beliau tidak silau dengan dunia...tidak mudah tergiur dengan harta, beliau sungguh bijak,

lalu apa yang adik bilang pada Pa Hasan itu...?

"Aku minta dia menunggu seminggu lagi untuk mendengar keputusanku" nada datar terucap dari bibir tipis Ratih

"Menunggu....apa maksudmu ?

"Biar aku bisa berfikir dewasa...dan sebijak kedua orang tuaku, bukan dengan emosi saat itu.

"Aku sering melihat banyak kesedihan diwajah kakak dan adik-adiku ketika pagi itu tiba,

disaat seharusnya qta berkumpul dan sarapan bersama lalu pergi sekolah seperti para tetangga,

qta hanya bisa menyebar mencari sesuatu yg bisa ditukar nanti untuk menjadi makan siang"

Aku sering iba ketika petang itu tiba karena semua adiku segera disuruh cepat tidur oleh Ibuku supaya lapar bisa tertahan sampai esok,

Aku sering menangis ketika Ayah dan Ibuku sakit dan aku seharusnya mengantarkan mereka ke dokter, tapi nyatanya aku tak bisa berbuat apa-apa"

Ratih kembali menangis sejadi-jadinya.

"Jangan kau teruskan dik, aku mengerti dan ikut merasakannya...dan kenapa itu abang selalu mengajakmu menikah dik"

Yusuf memeluk tubuh Ratih sambil menciumi rambut dikepalanya seolah ingin meyakinkan kesungguhan hatinya.

"Sudah sembilan belas tahun usiaku bang, tapi belum bisa melihat ayah dan ibuku bahagia" Ratih membalas pelukan Yusuf dan terus menyusup didada seperti ingin masuk

menyelami hati Yusuf.

"Percayalah dik, kau dan keluargamu akan bahagia setelah menikah denganku, Abang benar-benar mencintaimu."

"Tidak, Cinta tidak akan pernah berbagi tentang kesusahan dan kepedihan, Aku tidak ingin melibatkan cintamu pada keluargaku yg seperti ini, bukankah qta sama sama ingin

merasa bahagia, Aku ingin melihatmu bahagia bang...tapi tidak denganku"

"Abang semakin tidak mengerti dengan apa yang kau katakan dik, kita makan dulu saja biar fikiranmu menjadi cerah ya..!" Yusuf berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Demi ayahku, demi ibuku, demi keluargaku dan demi Abang....Aku akan menerima pinangannya Pa Hasan... Bang"

Yusuf menarik nafas dalam-dalam, laksana mimpi buruk yang barusan terdengar "Baiknya kau fikirkan lagi dik ! apakah kamu mencintainya ? apakah kamu yakin bahagia dengannya ?

Apakah keluargamu akan menjadi lebih baik dengan keputusanmu ini ?

"Keputusanku telah aku fikirkan berulang kali dan aku semakin yakin...

memang aku tidak mencintainya dan aku tak peduli lagi dengan rasa itu karena dengan rasa itu aku hanya senang sendiri ketika bersamamu bang,

Mulai hari ini biarlah cerita qta dalam kenangan" Ratih pun berdiri dengan isak tangis mulai melangkah gontai.

"Dik Ratih...jangan kau sakiti perasaanmu dengan keputusanmu ini jgn korban kan hatimu padanya...kau pantas bahagia hanya denganku" Yusuf menarik tangan Ratih yang mulai beranjak pergi.

"Keyakinanku sudah bulat bang, hanya dengan seperti ini aku berbakti...ini bukan pengorbanan tapi pengabdian seorang anak pada orang tuanya" Ratih terus melangkah pergi dan semakin jauh.

"Ratiiiih......" teriakan Yusuf tak bisa menahannya lagi

Empat bulan kemudian, Ratih dan Yusuf tak lagi pernah bertemu,

kabar mulai tersiar, berita sudah beredar... Pa Hasan juragan tanah itu akan menikahi Ratih anaknya Pa Marta minggu depan..... hingga sampai ke telinga Yusuf.

Yusuf hanya termenung lesu ketika mendengar itu dari tetangga samping rumahnya,

"Puncak rindu itu,

Ketika qta tak lagi bertegur sapa,

Ketika qta tak lagi bertelpon,

Ketika qta tak lagi berSMS,

Tetapi qta terus saling mendo'akan,

Semoga kau benar-benar bahagia dik...!"

Sambil mengemasi pakaian yg hendak dibawa ke kota besok subuh, Yusuf bergumam :

"Maavkan abang... tidak bisa menghadiri upacara pernikahanmu dik,

Biar kenangan yg lalu tak ikut bersanding merubah keyakinanmu,

Hatiku tak sekuat batu disungai itu,

Yang telah setia menahan qta dua tahun lamannya,

Sikapku tak semudah burung pipit itu,

Hinggap dan terus hinggap dipadi yang lainnya ketika qta mengusirnya,

Perasaan ini tak merasakan biasa ketika kehilanganmu,

Karena Cinta yg tak biasa tak akan pernah hilang begitu saja,

No comments:

Post a Comment