Kumpulan Cerpen

Cinta itu misteri…
Tak bisa diinginkan,
Tak bisa dinafikan,
Tak bisa ditolak,
Tak bisa dipaksakan,
Tak bisa terhindarkan,
Tak bisa tertunda,
Tentunya itu keharusan bagi setiap yg bernafas,
Cinta itu terkadang setipis membrant bagi sebagian orang,
Tapi terkadang setebal tabir yang tak terhingga bagi sebagian pula,
Yang merindukan cintanya---ases



Apakah Tuhan Itu Ada?
Al Kisah ada seorang Pemuda yang lama sekolah di negeri paman Sam kembali ke tanah air. Sesampainya dirumah ia meminta kepada orang tuanya untuk mencari seorang Guru agama, Kyai atau siapapun yang bisa menjawab 3 pertanyaannya. Akhirnya Orang tua Pemuda itu mendapatkan Seorang Kyai
Tanya Pemuda : Anda siapa? Dan apakah bisa menJawab pertanyaan-pertanyaan saya?
Jawab Kyai : Saya hamba Allah dan dengan izin-Nya saya akan menJawab pertanyaan anda
Tanya Pemuda : Anda yakin? sedang Profesor dan banyak orang pintar saja tidak mampu menJawab pertanyaan saya.
Jawab Kyai : Insya Alloh saya akan mencoba sejauh kemampuan saya
Tanya Pemuda : Saya punya 3 buah pertanyaan
1. Kalau memang Tuhan itu ada, tunjukan wujud Tuhan kepada saya
2. Apakah yang dinamakan takdir
3. Kalau syetan diciptakan dari api kenapa dimasukan ke neraka yang dibuat dari api, tentu tidak menyakitkan buat syetan Sebab mereka memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah berfikir sejauh itu?
Tiba-tiba Kyai tersebut menampar pipi si Pemuda dengan keras.
Tanya Pemuda (sambil menahan sakit): Kenapa anda marah kepada saya?
Jawab Kyai : Saya tidak marah...Tamparan itu adalah Jawab an saya atas 3 buah pertanyaan yang anda ajukan kepada saya.
Pemuda : Saya sungguh-sungguh tidak mengerti
Tanya Kyai : Bagaimana rasanya tamparan saya?
Jawab Pemuda : Tentu saja saya merasakan sakit
Tanya Kyai : Jadi anda percaya bahwa sakit itu ada?
Jawab Pemuda : Ya
Tanya Kyai : Tunjukan pada saya wujud sakit itu !
Jawab Pemuda : Saya tidak bisa
Kyai : Itulah Jawab an pertanyaan pertama: kita semua merasakan keberadaan Tuhan tanpa mampu melihat wujudnya.
Tanya Kyai : Apakah tadi malam anda bermimpi akan ditampar oleh saya?
Jawab Pemuda : Tidak
Tanya Kyai : Apakah pernah terpikir oleh anda akan menerima sebuah tamparan dari saya hari ini?
Jawab Pemuda : Tidak
Kyai : Itulah yang dinamakan Takdir
Tanya Kyai : Terbuat dari apa tangan yang saya gunakan untuk menampar anda?
Jawab Pemuda : kulit
Tanya Kyai : Terbuat dari apa pipi anda?
Jawab Pemuda : kulit
Tanya Kyai : Bagaimana rasanya tamparan saya?
Jawab Pemuda : sakit
Kyai : Walaupun Syeitan terbuat dari api dan Neraka terbuat dari api, Jika Tuhan berkehendak maka Neraka akan Menjadi tempat menyakitkan untuk syeitan.
Terima kasih mudah-musahan apa yang saya tadi tuliskan menjadi dorongan untuk lebih mempercayai keberadaan Tuhan, Insya Allah ridhanya akan di anugrahkan kepada kita semua. Amiiin
Ace Aliyudin
Ac_dyn@yahoo.com com


Sesuatu yang lucu...
Lucu ya, uang Rp 20.000-an kelihatan begitu besar bila dibawa ke kotak amal masjid, tapi begitu kecil bila kita bawa ke supermarket.
Lucu ya, 45 menit terasa terlalu lama untuk berdzikir, tapi betapa pendeknya waktu itu untuk nonton pertandingan sepakbola.
Lucu ya, betapa lamanya 2 jam berada di Mesjid, tapi betapa cepatnya 2 jam berlalu saat menikmati pemutaran film di bioskop.
Lucu ya, susah merangkai kata untuk dipanjatkan saat berdoa atau sholat, tapi betapa mudahnya mencari bahan obrolan bila ketemu teman.
Lucu ya, betapa serunya perpanjangan waktu di pertandingan bola favorit kita, tapi betapa bosannya bila imam sholat Tarawih bulan Ramadhan kelamaan bacaannya.
Lucu ya, susah banget baca Al-Quran 1 Juz saja, tapi novel "best seller" 100 halamanpun habis dilalap.
Lucu ya, orang-orang pada berebut paling depan untuk nonton bola atau konser, dan berebut cari shaf paling belakang bila Jum'atan agar bisa cepat keluar.
Lucu ya, susahnya orang mengajak berpartisipasi untuk dakwah, tapi mudahnya orang berpartisipasi menyebar gosip.
Lucu ya, kita begitu percaya pada yang dikatakan koran, tapi sering kita mempertanyakan apa yang dikatakan Qur'an.
Lucu ya, semua orang pinginnya masuk surga tanpa harus beriman, berpikir, berbicara atau melakukan apa-apa.
Lucu ya, kita bisa ngirim ribuan "jokes" lewat "E-mail", tapi bila ngirim yang berkaitan dengan ibadah sering mesti berpikir dua kali.


DETIK DETIK MENJELANG AKHIR LAJANG
Hari hari kian merayap pada satu titik, jam berganti, menit menit saling berkejaran hingga terhitung detik demi detik. Adalah salah satu karakteristik waktu yang sedemikian cepatnya beranjak, menyisakan kenangan dan menorehkan beragam takdir kehidupan. Saya tidak sedang menghitung hari, tetapi saya sedang meresapi waktu yang bergeser menjelang akhir masa lajang saya. Saya resapi dalam-dalam untuk memaknai dengan lekat setiap detik yang berpindah ke detik selanjutnya. Saya tak kuasa menahan lajunya waktu, untuk sebentar saja memberikan saya kesempatan menikmati sedikit lagi masa lajang saya.

Bukan bukannya saya tidak bahagia dengan kado sebuah pernikahan yang Allah anugerahkan pada saya. Ini adalah kado terindah dalam hidup saya. Saya hanya sedang membuat ‘pesta kecil dalam benak saya untuk pergantian status ini.
Hmmm Status lajang menjadi seorang istri (ciee..). Menghadirkan kembali penggalan kisah kehidupan saya sebelum melangkah ke sebuah gerbang bernama rumah tangga, mengambil sebanyak banyaknya hikmah dari semua kejadian yang berhasil saya lewati. Tidak pernah menyangka akhirnya saya bisa melewati masa masa yang sulit, ujian terhadap kesabaran dan keistiqomahan saya. Sungguh janji Allah itu sudah pasti kebenarannya. Betapapun perihnya saat berbagai ujian itu datang silih berganti, semuanya telah terlewati, dengan izin Allah.

Sekian tahun menjadi lajang, cukupkah mendewasakan saya? Ternyata tidak, proses pendewasaan itu akan terus berlanjut, apapun status kita., karena kehidupan hakakekatnya adalah proses pembelajaran, supaya kita bisa survive menghadapi apapun. Hanya saja, pengalaman hidup ketika lajang, saya harap bisa dijadikan sebagai bagian dari proses itu. Saya sadar, kehidupan saat lajang pasti akan sangat berbeda dengan kehidupan ketika berumah tangga. Kewajiban dan tanggung jawab akan bertambah, ujian pun akan sangat berbeda. Dan perahu yang saya kayuh pun kini punya seorang nahkoda, seorang partner dakwah yang mendampingi hari-hari saya selanjutnya. Bersama menghadapi badai dan gelombang yang sewaktu waktu akan menghampiri pelayaran ini. Berjuang bersama meraih jannah. Ketika saya sudah melewati ujian-ujian ketika lajang, bukan berarti saya bisa berteriak bebaaaaas, justru dalam sebuah pernikahanlah medan ujian sesungguhnya bagi kedewasaan saya dalam menghadapi berbagai masalah.

Menikah bukanlah prestasi, bukan juga saatnya untuk berbangga diri atau sekedar terjebak dalam romantisme sepasang manusia yang terbungkus indahnya mitsaqon gholizho. Saya sadar saya sedang menggerakan kaki saya untuk melangkah di sebuah “dunia lain Dunia penuh warna yang sebagian warna-warnanya tidak saya jumpai ketika saya masih lajang. Kini saya sedang berada di depan gerbangnya, saya kuatkan pijakan kaki saya dan menopang kokoh dagu saya untuk tidak menoleh ke belakang. Saya hanya ingin menatap lurus ke depan, biarlah jejak-jejak langkah yang pernah saya toreh di masa lajang tetap berada di belakang saya. Saya hanya ingin mengambil beberapa serpihan hikmah untuk saya jadikan bekal dalam memasuki dunia baru ini.

Detik-detik ini akan segera berlalu, dan detik detik selanjutnya akan saya temui. Lajang atau menikah bukan ukuran terhadap kualitas diri. Saya tetap harus terus, terus dan terus memperbaiki diri, karena Allah tidak pernah melihat seseorang dari status, DIA hanya melihat ketakwaan kita padaNYA. DIAlah yang akan menyaksikan apakah pernikahan ini akan membuat saya semakin dekat denganNya atau justru menjauh dariNya.

Di detik-detik terakhir menjelang akhir lajang ini, saya merasakan sepenuh cinta yang Allah berikan kepada saya dan kehidupan saya. Meski sadar ibadah seumur hidup pun tak kan mampu membalasnya, tapi saya ingin memberikan cinta terbaik yang saya miliki untuk NYA dan untuk orang-orang yang mencintaiNYA dengan sepenuh hati. Selamat tinggal dunia lajang, insya Allah saya siap menyambutmu wahai dunia baru.

Mampang, 11.01.06-23.15
Hanifa Syahida

Mengenang kembali saat saat itu dan sebuah persembahan bagi yang dalam waktu dekat akan menikah...

Barokallahulaka wa baroka alaika wa jama'a bainakuma fii khoir ^_^


Rina Setyawati




"Hadiah Cinta Untuk Melati"
oleh : Ratnadewi Idrus
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Bergaullah dengan mereka (istri) secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. An Nisaa' 4:19)
Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah, Bab Husnu Ma'aasyaratun Nisaa' Aisyah mengabarkan bahwa Rasulullah Saw pernah berkata, "Yang terbaik di antara kamu ialah yang terbaik terhadap istrinya, dan saya adalah orang yang terbaik terhadap istri saya".
*****
Dari yang pernah dan akan s'lalu mencintaimu. Berulangkali kubaca untaian kata di kartu lebaran yang menutupi parcel itu. Tanpa nama!, Siapa gerangan yang mengirimkannya? aku tak sabar membuka isinya.
Seketika aku terkejut!, karena semua yang ada di dalamnya adalah sesuatu yang kuimpikan selama ini!. perasaanku tak menentu, Ya Allah.. bagaimana jika suamiku tahu?! betapa Engkau Maha Menyaksikan bahwa selama ini aku senantiasa menjaga diri.
Kemarin malam kami sempat berselisih paham, bahkan sempat bertengkar hebat! itu merupakan peristiwa pertama dalam sejarah perkawinan kami!, seharusnya hal itu tak boleh terjadi. Aku menyesal atas kesalahanku!.. oh suamiku.. maafkan aku!.
Kemudian aku bergegas mengambil wudhu, shalat dan mengaji, selalu itu yang kukerjakan jika tak mampu mengatasi diri. Berdo'a dan memohon bantuan Ilahi Rabbi.
"Assalaamu'alaikum warahmatullaah..". suara yang tak asing lagi menyadarkanku, aku beranjak membukakan pintu, seraya membalas salamnya. Tak ada rona kemarahan lagi di sana, melainkan senyum ketulusan. Tiba-tiba ia membalas pandanganku, jadi malu!..
"Ada apa Ummi Syifa?" sapanya ramah, Syifa adalah nama anak kami yang diberikannya sebagai do'a agar kelak tumbuh menjadi seorang dokter wanita yang selalu ikhlas mengobati hamba Allah yang membutuhkan pertolongan. Aku jadi salah tingkah, terbata-bata aku berkata padanya, "Abi Syifa ja..ngan ma..rah ya..?!". Sejenak kutinggalkan ia, bergegas mengambil sesuatu yang sedari tapi menghimpit bathinku.
Tiba-tiba air mata ini mengalir, hari ini aku sensitif sekali. Tetapi.. kenapa Abi Shifa tersenyum?, aku bingung!.
"Sengaja kukirim kejutan itu untukmu, sayang.. sebagai tanda syukurku pada Allah atas kebersamaan yang telah kau berikan selama ini. Aku sadar kita hanyalah sepasang insan yang punya keterbatasan!. Kekurangan bukanlah suatu cela melainkan celah yang harus kita perindah dengan melengkapinya supaya sempurna guna mewujudkan sorga kecil kita. Atas dasar Cinta pada Allah! kita tak akan pernah lelah membinanya!".
Tangisku semakin deras, ungkapan kebahagiaan namanya, ternyata bingkisan indah ini dari suamiku sendiri!, betapa sayangnya Allah telah menganugerahiku seorang pendamping hidup yang berakhlak mulia!, dalam hati aku bertekad menyempurnakan diri, menjadi wanita shalehah di dunia ini!.
"Jazakallah suamiku!" Kuciumi tangannya seraya mendekap lembut pemberiannya. Seperangkat pakaian shalat dan gaun muslimah hijau yang indah, Subhanallah.. betapa bahagia hatiku, ia memberikanku hadiah Cinta di penghujung Tahun ini, Nisa..!".
Nisa tersenyum mendengar cerita Gayatri (sahabatnya), turut merasakan kebahagiaan Melatinya. Memang tiada ada wanita sempurna di bumi ini!, namun perhiasan yang terindah itu adalah wanita yang shaleh, yang taat pada Allah dan suaminya. Demikian pula sebaliknya, laki-laki yang terbaik itu adalah yang paling baik terhadap istrinya!. Selamat menerima hadiah cinta, Melati!, Semoga yang masih sendiri akan dianugerahi-Nya kejutan yang tak terduga-duga!. Apakah itu?! Hmm.. Suami yang berakhlak Qur'ani!, aamiin, Ya Rabbal 'aalamiin.
Billaahi taufiq walhidayah
Wassalaamu'alaikum warahmatullah wabarakaatuh
Ratna Dewi (wiwi_praty, Qalbu)


Do'a dikala ragu akan dirinya...:)
Bagi yang sedang bimbang oleh sang kekasih, nih ada do'a yang bagus untuk diamalkan. Selamat Mengamalkan ya....:)
Ya Allah...
Seandainya telah Engkau catatkan
dia akan mejadi teman menapaki hidup
Satukanlah hatinya dengan hatiku
Titipkanlah kebahagiaan diantara kami
Agar kemesraan itu abadi
Dan ya Allah... ya Tuhanku yang Maha Mengasihi
Seiringkanlah kami melayari hidup ini
Ke tepian yang sejahtera dan abadi
Tetapi ya Allah...
Seandainya telah Engkau takdirkan...
...Dia bukan milikku
Bawalah ia jauh dari pandanganku
Luputkanlah ia dari ingatanku
Ambillah kebahagiaan ketika dia ada disisiku
Dan peliharalah aku dari kekecewaan
Serta ya Allah ya Tuhanku yang Maha Mengerti...
Berikanlah aku kekuatan
Melontar bayangannya jauh ke dada langit
Hilang bersama senja nan merah
Agarku bisa berbahagia walaupun tanpa bersama dengannya
Dan ya Allah yang tercinta...
Gantikanlah yang telah hilang
Tumbuhkanlah kembali yang telah patah
Walaupun tidak sama dengan dirinya....
Ya Allah ya Tuhanku...
Pasrahkanlah aku dengan takdirMu
Sesungguhnya apa yang telah Engkau takdirkan
Adalah yang terbaik buatku
Karena Engkau Maha Mengetahui
Segala yang terbaik buat hambaMu ini
Ya Allah...
Cukuplah Engkau saja yang menjadi pemeliharaku
Di dunia dan di akhirat
Dengarlah rintihan dari hambaMu yang daif ini
----------------------------------------
Jangan Engkau biarkan aku sendirian
Di dunia ini maupun di akhirat
----------------------------------------
Menjuruskan aku ke arah kemaksiatan dan kemungkaran
Maka kurniakanlah aku seorang pasangan yang beriman
Supaya aku dan dia dapat membina kesejahteraan hidup
Ke jalan yang Engkau ridhai
Dan kurniakanlah padaku keturunan yang soleh
Amin... Ya Rabbal 'Alamin






Kisah Nenek Pemungut Daun
Ini ada kisah menarik dari sebuah buku yang saya baca. Semoga menjadikan kita semakin mencintai Nabi Muhammad, Rosululloh saw. Alloh huma sholi ala Muhammad wa ala ali Muhammad.
Dahulu di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, ia pergi ke masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melakukan salat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekedarnya, ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan. Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.
Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya. Pada suatu hari Takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua itu datang.
Pada hari itu, ia datang dan langsung masuk masjid. Usai salat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah isapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. "Jika kalian kasihan kepadaku," kata nenek itu, "Berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya."
Singkat cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa. Seorang kiai terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu. Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat: pertama, hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya; kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup. Sekarang ia sudah meniggal dunia, dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu.
"Saya ini perempuan bodoh, pak Kiai," tuturnya. "Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari akhirat tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu salawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan salawat kepadanya."
Kisah ini saya dengar dari Kiai Madura, D. Zawawi Imran, membuat bulu kuduk saya� merinding. Perempuan tua dari kampung itu bukan saja mengungkapkan cinta Rasul dalam bentuknya yang tulus. Ia juga menunjukkan kerendahan hati, kehinaan diri, dan keterbatasan amal dihadapan Alloh swt. Lebih dari itu, ia juga memiliki kesadaran spiritual yang luhur: Ia tidak dapat mengandalkan amalnya. Ia sangat bergantung pada rahmat Alloh. Dan siapa lagi yang menjadi rahmat semua alam selain Rasululloh saw?
_____________
Diketik ulang dari buku "Rindu Rosul", karangan Jalaluddin Rakhmat, penerbit Rosda Bandung,� hal 31-33. cetakan pertama September 2001.


Wanita yang Dipenuhi Rasa Cinta
Selalu, saya akan tenggelam dalam luasnya danau di keriput garis mata wanita itu; garis yang berkisah tentang kesabaran, perjuangan hidup, penderitaan dan pengorbanan serta maaf. Menelusuri peta yang ada di wajahnya, saya tak pernah tersesat dalam membaca atau mencari sebuah kota bernama: keikhlasan.
Kali ini, saya berusaha menyusun kepingan kesabaran dan danau maaf yang ada padanya dari sebuah drama kecil yang meluruhkan air mata saya pada akhir Februari 2003 lalu, di sebuah bangsal kelas II Rumah Sakit Umum Giriwono, Wonogiri.
Tubuh renta wanita itu melangkah ragu, mungkin beberapa bagian disebabkan perjalanan sekitar dua jam dengan memakai bus. Ia memang hampir selalu mabuk dalam perjalanan semacam itu kendati hanya dalam bilangan jam.
�Mbah...!� suaranya bergetar saat berada di ambang pintu. Nanap, ia menatap sesosok tubuh yang tergolek di atas tempat tidur dengan berbagai selang; infus, bantuan pernapasan, dan saluran pembuangan....
Laki-laki yang tergolek itu membalas tatapnya, menahan sejenak, lantas pelan-pelan dialihkan ke tempat lain. Ada sedu tertahan, sesak dalam dada.
�Bagaimana, Mbah?� kembali sapa wanita itu seraya mendekat dan meraba kening si lelaki. �Yang sakit bagian mana?� lanjutnya. Tangannya membelai kening lelaki itu dan turun ke telinganya.
Lelaki itu telah dua hari dirawat di rumah sakit karena penyakit stroke. Tubuh bagian kanannya lumpuh.
Lemah, tangan kiri si lelaki berusaha meraih tangan wanita itu, menggenggamnya lama, tetap dengan mata menghindari bertatap dengannya. Ada kepundan yang bergolak-golak di sana dan tangis yang enggan dipurnakan.
-----
Wanita itu tak lain adalah bekas istri dari lelaki yang kini tergolek tersebut. Lebih dua puluh tahun sudah keduanya berpisah.
Sangat sah bagi si wanita itu apabila ia membenci bekas suaminya. Begitu banyak luka menganga yang ditinggalkan lelaki itu dalam perjalanan hidup yang ia alami.
Sebelum resmi berpisah, suaminya menelantarkan dirinya berikut anak-anaknya. Suaminya lantas menikah dengan wanita lain, memenuhi istri mudanya dengan kekayaan dan kebahagian, sedangkan wanita ini terlunta-lunta memperjuangkan hidup yang ingin ia menangkan.
Ya, nyaris tak ada apa pun yang diberikan suaminya selain penderitaan. Ia bukan resmi dicerai di PA, karena itu ia masih menjadi istri jika sewaktu-waktu suaminya pulang atau bertandang. Selalu tak ada apa-apa yang di bawa lelaki itu selain perselisihan atau kekesalan pada istri mudanya dan si wanita akan menerimanya dengan sabar.
Tapi, selalu begitu, setelah ia kembali mengandung, suaminya akan segera pergi kembali pada istri mudanya, dan kembalilah ia berjuang terlunta-lunta dengan janin dalam kandungan. Tercatatlah, sembilan anak terlahir dari rahimnya, seorang di antaranya meninggal karena kekurangan air susu. Asinya tidak keluar oleh karena nyaris tak ada makanan layak yang ia konsumsi.
Di lain waktu, pernah selama beberapa minggu ia -berikut anak-anaknya-tidak makan nasi. Tidak ada beras tersisa. Kendati suaminya hidup berkecukupan bahkan boleh dibilang kaya, -- saat itu, suaminya menjabat kepala desa-ia tak hendak meminta, apalagi menuntut. Untuk bertahan hidup, ia dan anak-anaknya memakan daun-daunan yang direbus dengan campuran sedikit beras hasil utang. Jika waktu makan tiba, ia kumpulkan anak-anak, duduk melingkar memutari kuali tanah berisi bubur daun-daunan tersebut dengan masing-masing memegang satu piring. Lantas, pada piring masing-masing dituang bubur encer terebut. Sungguh jauh dari cukup, apalagi rasa kenyang. Sementara... suami dan istri mudanya sekaligus anak-anak mereka makan dengan kenyang dan berlebihan.
Jika malam tiba, gubuk reot yang ia huni itu penuh rebak dengan cerita. Wanita ini gemar sekali mendongeng untuk anak-anaknya; satu-satunya hiburan yang bisa ia berikan pada anak-anak. Dengan sebuah lentera kecil yang berkedip-kedip ditiup angin, ia mendongeng Timun Mas, Kepel, Lutung Kasarung, Roro Mendut-Pronocitro, Minakjinggo-Kenconowungu, dan sekian lagi dongeng yang ia kreasi sendiri. Anak-anaknya mendengarkan dengan mata berbinar-binar. Kadang-kadang pula ia mengajarkan tembang-tembang dolanan yang menjadi senandung riang pembawa semangat anak-anaknya. Sambil bercerita itu, tangannya tak henti bekerja, kadang-kadang sampai larut malam; menganyam tikar pandan pesanan tetangga, mengupas singkong, oncek dhele, prithil kacang, pipik jagung... pekerjaan-pekarjaan khas para petani yang darinya ia peroleh upah tak seberapa.
Lantas, sementara ia terus mendongeng, satu per satu anak-anaknya terlelap di atas tikar yang berlubang dan bertambal-tambal di sana-sini. Setelah anak-anaknya tertidur, serentak, wajahnya yang semula berbinar-binar tanpa duka itu meredup. Ia menatap anak-anaknya yang tidur dengan mulut menganga dan perut berkeriut. Napasnya cekat. Tanpa permisi, air mata berbondong-bondong keluar oleh tindihan rasa nelangsa. Ya... di saat yang sama, suami dan istri mudanya berikut anak-anak mereka terlelap di atas kasur dengan selimut hangat dan perut kekenyangan.
Baginya, duka itu adalah miliknya sendiri. Jangan sampai memberi anak linangan air mata. Jangan sampai ia berikan duka.
Dirinya masih harus merunut malam yang jauh. Dia tak berpikir akan bertahan hidup, tapi ia tak akan mengakhiri sendiri dengan bodoh; kendati sebenarnya itu pernah terlintas dalam benaknya.
�Saya tak percaya saya masih hidup sampai hari ini,� ujarnya bertahun-tahun setelah itu. Yang ada dalam pikirannya adalah 'hidup dan bertahan'. Ia harus menyelesaikan semua itu dengan cara-cara pahlawan.
Dengan menjadi buruh tani, ia terus mengais. Pekerjaan itu nyaris tak menjanjikan apa-apa. Tak jarang, ia bekerja di sawah suaminya sendiri sebagai buruh dengan upah yang tidak lebih besar dari buruh yang lain, bahkan cenderung lebih kecil. Entah, bagaimana ia mampu menjalani semua itu.
Lantas, satu per satu anaknya lulus sekolah. Yang pertama menyelesaikan SMP, yang kedua bertahan hanya sampai SD, sedangkan yang ketiga tak mampu menyelesaikan pendidikan terendah sekalipun kendati justru ia anak paling cerdas di antara anak-anaknya yang lain. Bersama, ketiga anak ini memutuskan merantau ke Jakarta. Tentu saja tak begitu ada harapan bekerja di tempat yang nyaman. Ketiganya... menjadi pembantu. Tapi, kendati sedikit, ketiganya mulai bisa mengirim uang untuk orang tua dan adik-adiknya.
Begitulah, wanita ini telah mengatur rupiah dengan begitu cermat. Ia bahkan tak menyentuh uang-uang kriiman itu, tapi kesemuanya digunakan untuk membiayai sekolah lima anaknya yang lain. Cukup ajaib, kelima anaknya tersebut berhasil menamatkan jenjang SLTA.
Hari-hari lesap ke bulan dan bulan tenggelam dalam tahun. Seperti hidupnya, waktu tidak berhenti berjalan. Satu per satu anaknya lulus, bekerja ... dan menikah. Biaya sekolah tidak melulu ditanggung anak pertama, tetapi selalu demikian... setiap ada yang lulus dan mulai bekerja, ia bertugas melanjutkan estafet amanah itu.
Lagi-lagi, keajaiban dan bukti bahwa Allah Mahakasih, empat dari anak-anaknya tersebut lulus tes menjadi pegawai negeri sipil, sebuah pekerjaan yang cukup bergengsi untuk ukuran daerahnya. Saat sekolah pun, rata-rata mereka mendapat beasiswa atau keringanan biaya sebagai kompensasi dari prestasi yang diraih... atau minimal menjadi juara kelas. Namanya pun menjadi legenda di masyarakatnya bahwa anak-anaknya maupun cucu-cucunya pasti cerdas dan sukses.
Bolehlah dikatakan begitu. Untuk ukuran orang seperti dirinya, tentulah apa yang ada sekarang ini merupakan sukses yang tidak terbilang. Masing-masing anaknya di Jakarta telah memiliki hunian yang layak -kendati kecil--, anak pertamanya malah berhasil masuk tes PNS di Mabes Polri kendati hanya dengan ijazah SMP. Anak-anaknya pun nyaris semua cukup disegani di lingkungannya, hal mana tidak demikian dengan anak-anak suaminya dari istri mudanya.
Tahun 2002, rumah yang ia huni yang dibangun anak-anaknya pada tahun 1988, ambruk. Kondisinya memang telah reot. Anak-anaknya bukan tidak tahu, tapi mereka tidak memperbaikinya dalam kurun yang cukup lama itu disebabkan mereka dilarang oleh sang ayah -suami dari wanita ini-untuk memperbaiki.
Laki-laki itu mungkin hatinya terbuat dari batu, tak juga bisa belajar dari kejadian-kejadian yang ia alami. Tahun 1988, saat anak terakhir dari istrinya berusia 10 tahun, ia kembali terpikat wanita lain; seorang janda muda dari kampung sebelah. Karena tak bisa menikah resmi, keduanya -entahlah, mungkin nikah di bawah tangan-tinggal serumah.
Kali ini, wanitanya tak 'sebaik' dan sesabar' dua istrinya terdahulu. Hartanya habis dalam bilangan tahun. Dan... empat tahun kemudian, jabatannya sebagai kepala desa berakhir.
Hidup dengan sisa-sisa kejayaan masa lalu, wanita muda ini tidak bertahan. Ia memilih pergi meninggalkan si lelaki yang kini tak lagi bisa mencukupi kebutuhannya.
Lantas, seperti roda... hidup berputar. Allah terus memperjalankan takdirnya yang tak terkata namun bagian dari hal paling tetap dan niscaya. Bukan karma. Lelaki ini menjalani hidupnya sendiri, menjadi buruh tani -karena sawahnya telah habis terjual-dan tinggal di kesunyian rumahnya: tanpa anak dan istri.
Sementara istrinya -si wanita ini-mulai merasai kebahagiaan dari hidup yang lebih layak, riang dipenuhi jeritan manja cucu-cucu dan rengekan mereka.
Maka, meradanglah si lelaki saat anak-anaknya berniat membangun sebuah rumah untuk ibunya karena rumah yang kemarin rubuh. Tak hanya fitnah, teror pun dilangsungkan. Anak-anaknya tak menyerah, tetap berusaha membangun rumah itu karena memang sudah tidak bisa ditunda lagi. Dulu mereka menahan-nahan niat tersebut selama bertahun-tahun, dan sekarang tak bisa lagi.
Tersebutlah, di suatu malam, si wanita -istrinya yang telah ditelantarkan itu-mendengar suara berisik ayam-ayam di kandang. Berjingkat, ia membuka pintu belakang rumah. Masih sempat sekilas ia melihat suaminya menaburkan sesuatu di sudut luar rumah. Kendati dalam remang, ia masih bisa mengenali bahwa sosok itu adalah suaminya.
Paginya, tiba-tiba ia lumpuh. Tubuhnya lemah dan tak bisa berdiri. Orang-orang menduga itu teluh. Setelah dirawat beberapa saat di RS, alhamdulillah ia sembuh.
Teror tak berhenti. Suaminya, secara terbuka, mendoakan agar kayu-kayu rumahnya keropos dimakan rayap. Dan doanya terkabul, tapi kali ini bukan pada rumah si wanita, melainkan rumahnya sendiri. Beberapa waktu kemudian ia mengancam akan membakar rumah itu, dan sekali lagi, rencana itu -kendati bukan dia-terlaksana. Juga bukan pada rumah si wanita, melainkan rumahnya sendiri. Karena lupa memadamkan api di tungku, rumah belakangnya terbakar.
Itu semua belum berakhir. Dalam kesendirian yang diliputi rasa dengki dan iri, ia mendoakan agar si wanita ini diserang penyakit. Dan lagi.... doanya terkabul, juga bukan untuk si wanita, tapi untuk dirinya sendiri. Tiba-tiba, orang-orang menemukan lelaki itu tak bisa bicara dan sebelah tubuhnya lumpuh. Ia terserang stroke untuk pertama kali yang sekaligus masuk dalam stadium kritis.
Anak-anaknya membawanya ke rumah sakit.
Dan... kejadian hari itu adalah bak sebuah drama nyata. Sebuah babak yang luar biasa indah saat si wanita -dengan langkah ragu dan bergetar, sebagian oleh sisa perjalanan yang membuatnya mabuk darat-menjenguk bekas suaminya yang tergolek di rumah sakit. Ada pancaran iba dan kasih yang tulus saat ia meraba, mengusap, dan bertanya tentang kabar dengan terbata-bata. Mesra sekali saat ia memijit kaki lelaki itu.
�Piye rasane, Mbah?� tanyanya dengan panggilan mesra. Mbah? Aduhai, nyaman sekali. Saat belum punya anak, ia memanggil lelaki ini dengan sebutan 'Kakang,' saat sudah punya anak dengan sebutan 'Pak', dan saat telah dianugerahi cucu demikian banyak, ia memanggilnya 'Mbah'
Gemetar, tangan kiri lelaki ini -karena tubuh bagian kanannya lumpuh-menggenggam tangan renta yang mengusap keningnya, seakan ia menikmati belaian lembut tersebut dan menahannya sesaat agar jangan terlalu cepat sirna. Kendati pandangannya dibuang ke sisi lain menghindari wajah -bekas-istrinya ini, ia tak bisa mengingkari ada lautan maaf dan cinta yang telah menggelombanginya.
Melihatnya, saya tak kuasa menahan isak. Seperti lelaki itu, tangis saya cekat di kerongkongan sementara air mata sudah berbondog-bondong menitik tanpa bisa dicegah lagi. Sesak sekali dada saya oleh rasa haru yang menekan-nekan.
Ya... melihat wanita ini, saya seperti tenggelam dalam laut kesabaran. Dan... dialah wanita tercantik yang pernah saya jumpai di dunia ini. Dia... tak lain adalah ibu saya.
Ya Allah... ampunilah dosanya, maafkanlah kesalahannya dan kasihilah dia sebagaimana ia mengasihi kami dalam suka dan duka.
Sakti Wibowo (abu_ahmadi at yahoo dot co do in)
Malam 1 Juni 03
Kenangan dan doa untuk Bundaku, orang paling berharga dalam hidupku.
(Tulisan ini terlah termuat dalam buku �Diari Kehidupan 1,� PT Syaamil Cipta Media, Bandung, 2004)



"Saat Terakhir Bersama Melati ?"
Ratnadewi Idrus
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS. Ali Imran 3:145)
*****
Apakah malam ini, saat terakhir aku bersama Melati-Mu, Ya Allah ?!.. Kulihat mereka tertidur lelap sehabis disirami hujan, akankah mereka bahagia menjalani hari-hari penantian ?.
Aku tahu dunia tak ramah pada mereka !, namun aku yakin mereka mampu bertahan karena Engkau senantiasa merawat mereka dengan kasih sayang. � Tak terlukiskan betapa senang hatiku melihat mereka mampu mengatasi setiap ujian yang Engkau berikan, mensyukuri segala nikmat yang telah Engkau anugerahkan, dan menikmati kehidupan yang telah Engkau gariskan. Sungguh !, aku senantiasa berduka jika teringat sabda Rasul-Mu, bahwa kaum wanitalah yang terbanyak menghuni neraka. Astaghfirulaah..
Dari Ibnu 'Abbas r.a. katanya Rasulullaah Saw bersabda : "Aku melihat ke sorga, maka terlihat olehku kebanyakan penghuninya ialah orang-orang miskin. Dan aku melihat pula ke neraka, maka kelihatan olehku kebanyakan penghuninya ialah kaum wanita". (HR. Muslim)
Karena itu, kumohon pada-Mu Ya Allah, semoga mereka mendapat kebaikan di dunia maupun di� akhirat, terhindar dari murka-Mu, selamat dari siksa neraka-Mu. Aamiin, Ya Rabbal 'aalamiin.
Dulu.., aku pernah melukai mereka !, dan itu merupakan bagian terpahit dalam hidupku !, manakala setelah kulihat mereka berusaha mengejar cinta-Mu, untuk menjadi tokoh wanita sorga, aku tinggalkan mereka begitu saja.. akhirnya, mereka hilang dariku. Ada yang kembali menjadi bunga-bunga yang lain, dan yang amat kusesali, aku tak tahu lagi kemana mereka kini.
Aku tak ingin kehilangan untuk kedua kali, Ya Allah.. sekuat tenaga akan kucoba merangkul mereka dengan kelembutan, menyirami mereka dengan kesejukan, merangkai mereka dengan kehangatan, semua itu tak akan pernah terwujud, jikalau tak mendapat izin dari-Mu.
Semoga Engkau meridhai niat ini, semoga semakin banyak tumbuh generasi-generasi Melati. Kami akan berjuang bersama mengharumkan kembari bumi-Mu, menegakkan kembali agama-Mu, meraih kembali Cinta-Mu !.
Tetapi Ya Allah.., apalah artinya diri ini, ada tiadanya aku tak akan punya arti sedikitpun !. Engkau tetap Maha Besar.. agama-Mu tetap Bersinar.. Makhluk-Mu tetap akan memuliakan-Mu !. Subhanallaah.. walhamdulillaah.. walaa ilaa ha ilallaah walaahu akbar..
Tubuh ini semakin rapuh, tenaga ini semakin berkurang, sebentar lagi jiwa ini akan Engkau genggam, akankah kemudian Engkau tahan ? ataukah mungkin Engkau lepaskan ??. � Jikalah sudah tiba masaku, aku akan ikhlas menerimanya.. Karena sungguh !, jiwa ini sudah tak kuasa menahan rindunya kepada-Mu.��
Air mata Nisa mengalir deras, seakan ia merasa ini adalah malam terakhir ia tinggal di dunia, Malam Ramadhan terakhir bersama Melati-Melatinya. Akankah Nisa pergi untuk kembali ? ataukah mati menuju kehidupan yang abadi ?


Menguak Rahasia Cinta Kita
� Aku ragu ada dan tiadaku
namun �cinta� mengatakan
bahwa aku ada �
Wuih!!!Begitu dahsyatnya sebuah kata cinta hingga M. Iqbal, seorang penyair muslim, menggambarkannya melalui puisi di atas. Kebayang nggak sih jika cinta itu nggak ada? Pasti, dunia bakal hancur karena semua makhluk mementingkan diri sendiri dan pastinya tidak akan terlahir seorang anak yang berbahagia dalam hidupnya. Karena seperti puisi di atas, cinta membuat kita menjadi ada.
Sebenarnya apa sih yang membuat kita memiliki cinta? Yang pertama nih karena Allah memberi fitrah kepada manusia untuk mencintai keindahan sehingga kita mudah kagum dengan keindahan dan kecantikan yang nampak. Allah memang menciptakan keindahan karena Allah itu indah dan mencintai keindahan.
Yang kedua karena manusia cenderung lemah dan tak berdaya. Oleh karenanya manusia akan mencari seseorang atau sesuatu yang dapat memberikan kekuatan, keperkasaan dan kegagahan. Dan sebagai remaja muslim nggak perlu susah-susah mencarinya karena di dalam Al Quran disebutkan bahwa pemilik semua itu adalah Allah. �Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa. � ( QS. 22 : 40 ). Sungguh Allah adalah yang terkuat dari yang kuat, yang paling perkasa dari yang perkasa, yang tergagah dari yang gagah.
Sebab yang ketiga adalah karena sifat manusia yang cenderung membutuhkan orang lain. Tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, sehingga dari rasa membutuhkan itu akan timbul rasa sayang untuk tidak menyakiti karena dia atau mereka adalah orang yang kita butuhkan. Tul, nggak?
Sudah yakin kan kalau cinta adalah anugrah dari Allah, sekarang tinggal kita mempraktekkannya. Orang yang sudah mempraktekkan anugerah cintanya dapat dilihat dari tanda-tanda sebagai berikut. Pernah mengagumi seseorang? Pasti pernah. Nah kekaguman itu termasuk tanda-tanda cinta meski dalam taraf awal. Ketika kita takjub akan kepandaian seseorang, maka kita akan percaya apa yang dikatakan. Ketika kita kagum akan sebuah lukisan, maka kita nggak akan rela kalau lukisan itu rusak. Begitu juga dengan cinta pada Allah. Pada saat kita mampu mengagumi Allah melalui ciptaan-Nya, maka saat itulah cinta kita sudah mulai bermunculan. Dan bila cinta sudah melekat gula jawa terasa coklat� eh� maksudnya kalau kita sudah cinta sama Allah pasti apapun yang Allah firmankan tak akan pernah kita tidakkan. Kita akan rela mengorbankan apapun agar Allah tidak meninggalkan kita. Ya, nggak?
Itu baru tanda pertama, sedangkan tanda lainnya adalah banyak mengingat, merenungkan, melamunkan apa yang kita cintai. Ketika melihat sesuatu yang berhubungan dengan yang kita cintai pasti kita langsung ingat dan menyebut-nyebutnya. Jika melihat kebesaran Allah kita langsung bilang �masyaAllah�, �subhanallah�, �Allahu akbar� dan kata-kata lain yang menyiratkan ingatan kita pada-Nya.
Bila kedua tanda di atas sudah terpenuhi, boleh kok dibilang kita sudah sedikit mempraktekkan cinta. Tapi agar cinta yang sudah Allah berikan tidak kita salah gunakan untuk mencintai hal-hal yang tidak disukai-Nya, tempatkanlah cinta pada posisi yang benar. Manusia cenderung memiliki dua penempatan akan cinta. Ada orang yang menempatkan cinta berdasarkan nafsu yang lebih mengarah pada keinginan untuk memiliki. Cinta orang seperti ini tentu mudah hilang dan sifatnya fana, karena yang diinginkan biasanya hal-hal yang berupa materi, penampilan fisik seperti kecantikan, ketampanan, de el el. Segala hal dilakukan demi mendapatkan kepuasan nafsu. Walaupun Allah memang memberi manusia kecintaan akan dunia, harta benda dan keluarga, bukan berarti lantas kita bebas membiarkan nafsu kita tanpa mempedulikan kebenaran di hadapan-Nya. Kalau udah gitu apa bedanya kita dengan syetan yang menghalalkan segala cara agar mendapat teman nanti di neraka? Na�udzubillah!
Kemudian ada juga orang yang menempatkan cinta itu berdasarkan syar�i yang mengarah pada aturan Islam, yang mencintai hanya karena yang dicintai akan dapat mengingatkan kita akan kebesaran Allah. Cinta yang nantinya akan jadi penolong di hari yang tidak ada pertolongan selain dari-Nya. Cinta yang benar-benar tidak dilandasi nafsu ingin menguasai dan memiliki karena semuanya dilakukan atas dasar ikhlas karena Allah. Cinta semacam ini bersifat abadi. Yang tak akan lenyap ditinggal zaman.
Oleh karena itu tebarkanlah cinta karena Allah di bumi-Nya, agar hidup menjadi indah. Jangan khawatir cinta kita akan habis karena memang cinta itu diciptakan berlapis-lapis. Laksana kuku yang tak habis walau sering dipotong. Dan juga karena kecintaan pada Allah ternyata bisa menyelamatkan orang yang mencintai-Nya dari azab-Nya. Rasulullah bersabda, �Demi Allah, Dia tidak akan mengazab kekasih-Nya, tetapi Dia telah mengujinya di dunia.� [safna al izzah +]

�Cinta itu anugrah maka berbahagialah, sebab kita sengsara bila tak punya cinta.
Cobaan pasti datang menghadang, rintangan pasti datang menghujam.
Namun cinta itu kan membuatmu mengerti akan arti kehidupan. �
___________________
Sumber : Buletin Insan edisi 23/februari 2002


Aa Gym & Slank
Sumber : Milist Daarut Tauhiid
Saat wawancara dengan Bimbim Slank (Kisah edisi 32, April 2002), tercetus rencana Slank mewawancarai KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym)untuk tabloid mereka. Slank memerlukan hotline ke Aa Gym. FIKRI menyambut positif gagasan itu, dan mengupayakan pertemuan Slank-Aa secepatnya. Kedua pihak pun saling kontak. Program pun "mekar" dari sekadar urusan 'wawancara' - asumsinya, wawancara dilakukan lima personil Slank, menjadi kunjungan keluarga besar Slank. Tak tanggung-tanggung, 42 orang dengan sembilan kendaraan pribadi, diterima Aa Gym di Daarut Tauhiid (DT) Bandung. Ini fenomena menarik, bahkan pihak DT sendiri nyaris tak percaya Slank bakal bersilaturahim ke DT. Berikut ini liputan langsung wartawan FIKRI Herry Wibowo dan Iqbal Setyarso, yang mengikuti menit per menit pertemuan Aa-Slank.
Aa Gym berjumpa Slank? Ini dahsyat. Tapi tak baik mengusik perjumpaan, kecuali sebatas menggantung harapan. Pihak Slank maupun DT sepakat, perjumpaan ini tak perlu diributkan dulu. Biarlah Slank menikmati "wisata ruhani" ini dengan mulus. "Kami sengaja tidak mempublikasi ke mana-mana. Kalau dibilangin bisa ramai banget. Kemarin aja gue bawa satu personel Slank ke salah satu agen terbesar di Bandung, wah, sambutannya ramai banget. Apa lagi kalau dibilangin kita ke DT, bisa tambah ramai lagi," ujar Budi Ace, Pemred Koran Slank. Sabtu, 19/4 mereka berangkat, masuk hotel dulu karena cottage Darul Jannah di kompleks DT terisi semua. Dinihari, Minggu 21 April, mereka diterima di DT.
Santri pun Ngefans
Pukul 02.20
Rombongan Slank diterima di Pondok Muthmainnah, kompleks Pesantren DT. Ada sembilan mobil pribadi, yang merayapi jalanan Bandung menuju DT. Dalam rombongan itu, bukan hanya lima personel Slank. Total rombongan, ada 42 orang, keluarga Slank dan manajemen Slank. "Wah,.. dingin sekali udara di sini", ujar Bunda yang juga ikut dalam rombongan. Ketua Slankers Priangan, Zeppy Lesmana, pria gondrong asal Kota Kembang, berkulit sawo matang dengan jaket jins birunya berada di tengah-tengah mereka. Mahasiswa STISI (Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain Indonesia) semester enam ini dihubungi oleh Pemred Koran Slank untuk mengikuti wisata rohani Slank bersama Aa Gym. "Begitu dikabari Mas Budi, saya langsung meluncur menuju hotel," kata Zeppy yang mengendarai Suzuki Charade warna biru tua. Sampai di hotel, Zeppy langsung memberikan titipan dari ibunya. "Kebetulan Mama saya baru pulang haji. Beliau membawa kopiah dan sajadah untuk personel Slank. Termasuk cenderamata untuk Bunda," ujarnya sambil tersenyum tipis. Ibu Zeppy, Hj Etty Haryati juga slanker. Zeppy berarti slanker generasi kedua.
Tiga puluh menit kemudian mereka bersiap mengambil air wudhu dan berjalan kaki menuju masjid DT. Awalnya jamaah tak begitu banyak. Lima menit kemudian jamaah mulai berdesakan. Shalat tahajud dimulai, dilanjutkan muhasabah dipimpin langsung oleh Aa Gym.
Pukul 04.45
Shalat tahajud dan muhasabah usai, dilanjutkan dengan persiapan siaran langsung di TVRI. Disela-sela persiapan siaran langsung para santri begitu antusias mendekati personel Slank, menyodorkan kertas dan pulpen minta tandatangan. Pukul 05.00 siaran langsung dimulai. Pada saat tanya jawab, Bimbim sempat bertanya pada Aa: "Saya pernah mendengar ada ajaran menyebutkan, kalau istri tidak taat kepada suaminya, atau anak tidak shalat, boleh dipukul. Kalau sekarang zaman demokrasi, apakah masih layak dilakukan para suami?" Kata Aa, sebaik-baik contoh adalah Rasulullah. Dan Rasulullah, meski pun memang mengungkapkan ajaran itu, beliau sendiri tidak pernah memukul.
Setelah siaran, mereka diantar jalan kaki ke kafe kompleks DT untuk sarapan pagi. Di jalanan, sejumlah abege, pria dan wanita, berkopiah dan berjilbab, malu-malu meminta tanda-tangan. Slank dengan senang hati memenuhinya. Di kafe, masih ada yang ikut dan ingin difoto bareng Slank. Mereka sudah membawa pocket camera sendiri. "Saya ingin minta difoto sama Mas Bimbim. Saya tahu dari Aa usai taushiyah ba'da magrib, kalau Slank akan ke sini," ujar salah seorang santri.
Selesai sarapan, Slank diajak orientasi lingkungan DT, jalan-jalan di kawasan DT dipandu Arief Rahman, Humas DT dan Pemred Tabloid MQ.

Menanti Syair Baru
Pukul 6.40
Usai orientasi DT, Slank ke lapangan Gazeeboo. Aa Gym minta Slank ikut menjadi tamu acara Telkom Sehati. Telkom Sehati (Sehat dan Tambah Ilmu), sebuah acara Mingguan Aa Gym bekerjasama dengan PT Telkom. Bimbim dengan Peugeot biru mudanya mengambil posisi ketiga dalam rombongan konvoi ke lapangan Gazeeboo. Pagi itu, Gazeeboo sudah penuh sesak. Slank pun terjebak macet, nyaris mereka memilih kembali ke DT. Syukurlah, berkat kecekatan tim SSG (Santri Siap Guna) DT, yang memang kebagian tugas melakukan pengawalan, Slank bisa tiba di lokasi meski agak terlambat, itu pun setelah kendaraan pribadi Slank di parkir di sebuah instansi, Slank pindah ke sebuah mobil penjemput khusus.
Aa Gym sendiri tiba lebih dulu di Gazeeboo. Maklum, Aa meluncur dengan sepeda motor. Aa Gym sejak awal sudah bilang, dalam acara pagi itu, Grup Slank akan datang juga. Gemuruh massa mewarnai suasana. Slank mendekati panggung dengan kawalan pagar betis sejumlah santri berseragam kaos biru tua dan celana hitam bak bodyguard, langsung rehat sejenak di ruang kontrol berdinding kaca dekat panggung. Massa juga sudah berkerumun, persis menyaksikan ikan hias di akuarium, minta berpotret atau sekadar tandatangan.
Tak lama, Slank naik panggung. Aa mendaulat mereka menyanyi. "Ada enggak, yang religius?" Personil Slank berunding. Kaka maju dan menyanyi tanpa alat musik pengiring kecuali gendang. Satu nomor dari album Virus, mampu membuat massa ikut bersenandung. Usai menyanyi, Aa minta personil Slank memperkenalkan diri.
"Saya Kaka." "Saya Bimbim." "Saya Abdi." Saya Ridho." "Saya Ifan." Aa Gym menyeletuk, "Saya Aa." Hadirin geeeer....
Aa menyinggung tatap-muka langsung dengan Slank pertama kali. Ini terjadi di Masjid Istiqlal Jakarta, di sela acara ceramah sepekan sebelumnya.
"Waktu di Istiqlal, gimana perasaannya?"
"Kita sih mikirnya bakal bertemu di satu ruangan, enggak tahunya di depan umat. Agak gemeteran juga," ujar Kaka tanpa malu-malu.
"Gimana bayangan Bimbim waktu di Istiqlal?"
"Yang ada dalam bayangan saya kalau ingin ketemu Pak Kyai, serba kaku dan enggak boleh ke mimbar. Tapi ketika di sana kok tidak seperti yang dibayangkan. Apa lagi malah diajak sama-sama di mimbar. Kami jadi merasa suasana jadi adem, sangat membahagiakan."
"Abdi, kamu kok enggak ikut. Gimana perasaannya?"
"Ngiri aja. Teman-teman bilang, rugi lo enggak datang."
"Nah di sini juga ada Bunda, Assalamu'alaikum. Bagaimana nih kesan Bunda?"
"Wa'alaikum salam. Seneng banget. Luar biasa. Ini terjadi atas kuasa Allah. Atas izin Allah jualah sehingga kita bisa dipertemukan antara Slank dengan Aa Gym dan jamaahnya."
Usai menyanyi sebuah lagu lagi, Aa bilang, tak salah kalau Slank mulai membuat lagu yang sarat pesan. "Kata Nabi, orang yang beruntung itu adalah orang yang bisa memberikan kebaikan dan diikuti orang banyak. Maka pahalanya ikut kita tanpa mengurangi pahala yang berbuat. Kalau bahasa Slank yang baik ini sudah banyak yang didengar, orang mengikuti, Slank pun mendapat pahalanya sampai akhirat. Inilah untungnya orang populer. Kita tunggu syair Slank yang makin bermanfaat." Hadirin bertepuk tangan riuh. Acara ditutup doa. Slank dan Aa meneruskan pertemuan di rumah Aa.

Wawancara Plus
Pukul 9.15
Nyantai, itulah kesan yang menonjol dalam pertemuan di rumah Aa. Ia malah tak bersorban. Wawancara ini terpaksa dipotong panggilan dari masjid. Aa harus mengisi pengajian di Masjid DT. Aa berkemas, pakai sorban dan sarung, terus bergerak ke masjid. "Ngobrolnya belum selesai, kan? Kita lanjutkan nanti. Kita ngaji bareng. Hayo atuh, sudah telat." Terlihat kru Slank masih enggan berdiri, Bunda berbisik sambil memberi isyarat, entah kepada siapa, "Ayoo, ajak ke masjid." Semua kru Slank dan rombongan, ke masjid.
Pukul 11.12
Saat ke masjid, ada saja santri yang antri menanti Slank. "Punten Kang Kaka, minta foto sebentar boleh yah," Ujang, seorang santri, memohon dengan senyum. Sebelum ke ruang masjid, personel Slank berwudhu. Meski sesak, mereka diberi tempat dekat mimbar. Di sela ceramah, Aa memperkenalkan personel Slank. Kaka didaulat mengungkapkan kesan-kesannya. "Saya seneng dan sangat bahagia hari ini. karena bisa bertemu dengan Aa dan para santri di sini. Ini pengalaman yang paling bagus dan berkesan buat saya. Semoga pengalaman ini bisa bermanfaat buat kami," kata pria berambut gimbal ini. Acara diakhiri shalat dzuhur.
12.15
Ba'da Dzuhur awak Slank berjalan sekitar 100 meter menuju ke kediaman Aa. acara dilanjutkan makan siang bersama. Lesehan makan siang di lakukan di halaman depan rumah Aa.

"Mana Abdi," tanya Budi, Pemred Koran Slank.
"Masih di masjid,"jawab Ifan dari kejauhan.
"Gila. Gue nggak nyangka, waktu gue batal wudhu, kan nggak kebagian tempat. Akhirnya gue shalat di keset persis di depan tempat wudhu. Eh, tahu-tahu ada santri menyodorkan sajadah buat gue. Alhamdulillah, langsung gue pake tuh sajadah buat shalat," ujar Ifan kepada Kaka dan Bimbim.
Sembari wawancara, Aa Gym melontarkan nasihat. "Slank jangan hanya menyanyi saja yah. Kalian juga punya kewajiban untuk membawa mereka menuju kebaikan. Kalian kan sudah dikenal dan punya banyak penggemar. Kalian punya massa. Buat mereka agar mempunyai semangat untuk maju. Sisipkan saja pelan-pelan, semua juga butuh proses. Ingat, yah, Slank."
Di tengah percakapan saat makan siang tiba-tiba handphone canggih Aa, jenis personal data assistance (PDA), berbunyi. Aa menerimanya. Lantas ia perdengarkan pembicaraan dengan pihak penelepon.
"Assalamualaikum, siapa nih".
"Wa'alaikum salam, saya A...A tolong doakan ya A.. istri saya mau melahirkan. Tinggal dua senti."
"Tinggal dua senti? Iya saya doakan...(lantas Aa sejenak berdoa berbisik).
Jaga baik-baik ya istrinya." (suara di seberang berganti, suara perempuan, agak bergetar). "
"A...doakan saya..."
"Iya, ya. Pasti didoakan. Tabah ya, Ibu ikut berdoa juga..."
"Iya, A. Terima kasih."
Pembicaraan ditutup. "Ya, begini inilah saya kadang-kadang telepon bunyi hanya untuk minta saran dan doa. Setiap mereka menghadapi suatu masalah mereka sering telepon saya. Walaupun kadang-kadang ada yang iseng. Ada yang kirim SMS aneh-aneh. Tak sepantasnya menjawabnya. Yang hari ini saja, ada 156 pesan. Handphone saya selalu terbuka, kecuali kalau saya ada keperluan khusus."
Usai makan, Slank dan Aa Gym foto bersama dilanjutkan dengan foto Aa Gym dengan seluruh keluarga Slank. Sebelum bertolak ke Jakarta, mereka dipersilakan melihat tata ruang rumah Aa yang bersahaja.



Cermin Masa Lalu
Di masa kecil, saat pertama menyentuh benda bernama sepeda, kaki ini gemetar. Gemuruh di dada tak tertahankan sementara kedua tangan mencengkeram erat stang sepeda, padahal belum juga terkayuh pedal di kaki. Kedua mata menatap tajam menunggu lengang sepanjang jalan tertatap di depan, sebelum kayuhan pertama diayunkan. Satu kayuhan pun terayun, dan... lutut memar, lengan berdarah, ditambah kening sedikit benjol beradu kuat dengan aspal.

Menyerah? tentu tidak. Meski harus kembali terluka, menambah benjolan di sisi lain kening, atau menutup luka kemarin dengan luka yang baru, semangat tak pernah luntur demi bisa berdiri di atas sepeda roda dua. Esok hari, tambah lagi luka baru, atau luka yang sama bertambah parah, tetap saja terus berusaha mengayuh sepeda. Tiga kayuhan pertama, jatuh. Esok mendapat tujuh kayuhan, kemudian jatuh. Sebelas kayuhan, jatuh lagi dan seterusnya entah sudah keberapa ratus kali aspal jalan depan rumah itu bersahabat dengan lutut, lengan, kening ini. Hingga akhirnya jalan lurus, jalan terjal, mendaki dan turunan, hingga berlubang pun mampu dilewati dengan lincah, cepat dan yang penting, tidak lagi jatuh.

Menanjak remaja, sepeda motor pun dijajal. Tak peduli meski orang tua belum sanggup membelikannya, yang penting bisa dulu. Kali pertama menunggang kuda besi itu, ladang orang pun menjadi tempat pendaratan terbaik. Luka lama kembali terbuka, namun itu tak menyurutkan semangat. Malu rasanya tak mampu mengendarai motor layaknya semua teman lelaki di kampung. Bermodal semangat dan kepercayaan diri, ditambah sedikit gengsi kelelakian, melajulah motor tanpa lagi tersuruk di kebun singkong, tak lagi terparkir di tempat yang salah.

Di masa lalu, jatuh bangun pernah dialami. Sakit, luka, menangis, berdarah-darah menjadi sahabat sehari-hari. Tapi sakit, luka, air mata dan darah yang pernah menetes itu menjadi saksi bahwa semangat diri tak pernah padam untuk meraih keberhasilan. Tak hanya semangat, cita-cita untuk sekadar bisa melenggang mulus di atas sepeda atau motor yang begitu kuat, membuat diri rela jatuh bangun dan terluka. Sebuah pengorbanan yang harus dibayar.

Di masa lalu, kegagalan demi kegagalan pernah sangat rekat dengan diri ini. Pernah juga beberapa kesuksesan menjadi bagian kehidupan, gerimis hati ini saat menjalaninya. Jutaan jalan berlubang pernah terlalui, beberapa kali terjerembab di dalamnya. Jalan gelap begitu sering harus ditapaki, tak jarang menemui jalan buntu. Tak terbilang peluh saat mendaki, sementara senang tak terkira ketika mendapati jalan menurun. Yang membuat diri tak percaya, sungguh semuanya pernah dilalui.

Di masa silam, ada banyak sahabat baru berdatangan dan mengiringi hari-hari penuh kehangatan. Tak berbeda masanya, beberapa sahabat pernah pula meninggalkan diri, menjauh dan tak lagi pernah tahu gerangan dirinya. Pilu ketika harus berpisah, haru saat berjumpa kembali. Begitu banyak cinta bersemi, meski di waktu yang sama ada pula yang menabur benci pada diri.

Ketika masih sama-sama di bangku pendidikan, bersama sahabat mengukir mimpi. Melukis masa depan, membayangkan akan menjadi apa diri ini kelak, usia berapa menikah, seperti apa pasangan hidup nanti, berapa banyak anak yang dihasilkan, apa jenis kendaraan yang diinginkan, rumah sebesar apa yang didambakan, berapa banyak yang diinginkan saat kali pertama gajian, dan apa yang ingin dibeli dengan gaji pertama itu.

Waktu berlalu, mimpi terlewati, ada yang terwujud, tak sedikit yang menguap bersama awan di langit. Lukisan masa depan semakin buram, tak lagi jernih seperti saat pertama ditorehkan di atas kanvas harapan. Ada yang menyesali langkah tak tepat yang pernah ditempuh, ada yang mensyukuri karena tak selamanya apa yang dianggap benar, benar pula menurut Sang Maha Berkehendak.

Kita memang tak pernah bisa tahu yang akan terjadi besok, tetapi kita pernah punya masa lalu yang telah banyak memberi pengajaran. Kita pernah jatuh, terpuruk, sedih, bahagia, manis, pahit, terbang, menangis, tertawa, sendiri, bersama, di masa lalu. Sedangkan masa depan, kita hanya bisa mengukirnya di dalam bingkai mimpi, hanya bisa mengira, merencana dan merekayasa. Justru karena itulah, kita mesti belajar dari masa lalu. Karena masa lalu telah pernah mengajarkan semuanya. Bercermin dari masa lalu, agar rencana dan rekayasa untuk mimpi masa datang lebih mendekati kenyataan.

Bayu Gawtama


Wanita Bisu, Tuli, Buta dan Lumpuh Yang Engkau Cintai
Seorang lelaki yang saleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat sebuah apel jatuh ke luar pagar sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah terbitlah air liur Tsabit, terlebih-lebih di hari yang sangat panas dan di tengah rasa lapar dan haus yang mendera. Maka tanpa berpikir panjang dipungut dan dimakannyalah buah apel yang terlihat sangat lezat itu. Akan tetapi baru setengahnya di makan dia teringat bahwa buah apel itu bukan miliknya dan dia belum mendapat ijin pemiliknya.
Maka ia segera pergi ke dalam kebun buah-buahan itu dengan maksud hendak menemui pemiliknya agar menghalalkan buah apel yang telah terlanjur dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja ia berkata, "Aku sudah memakan setengah dari buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya". Orang itu menjawab, "Aku bukan pemilik kebun ini. Aku hanya khadamnya yang ditugaskan merawat dan mengurusi kebunnya".
Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, "Dimana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini." Pengurus kebun itu memberitahukan, "Apabila engkau ingin pergi kesana maka engkau harus menempuh perjalanan sehari semalam".
Tsabit bin Ibrahim bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orangtua itu, "Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa seijin pemiliknya. Bukankah Rasulullah Saw sudah memperingatkan kita lewat sabdanya : "Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka."
Tsabit pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, dan setiba disana dia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata, "Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu sudikah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu ?" Lelaki tua yang ada di hadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, "Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat." Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak bisa memenuhinya. Maka segera ia bertanya, "Apa syarat itu tuan?" Orang itu menjawab, "Engkau harus mengawini putriku !"
Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, "Apakah karena hanya aku makan setengah buah apelmu yang jatuh ke luar dari kebunmu, aku harus mengawini putrimu ?" Tetapi pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, "Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang gadis yang lumpuh !"
Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah perempuan semacam itu patut dia persunting sebagai isteri gara-gara ia memakan setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, "Selain syarat itu aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau makan !"
Namun Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, "Aku akan menerima pinangannya dan perkawinannya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul 'Alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta'ala". Maka pernikahanpun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah perkawinan usai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui istrinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka iapun mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum�."
Tak dinyana sama sekali wanita yang ada dihadapannya dan kini resmi menjadi istrinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran tangannya.
Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini. "Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada di hadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula", kata Tsabit dalam hatinya. Tsabit berpikir mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya ?
Setelah Tsabit duduk disamping istrinya, dia bertanya, "Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa ?" Wanita itu kemudian berkata, "Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah". Tsabit bertanya lagi, "Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa?" Wanita itu menjawab, "Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan?" tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan istrinya. Selanjutnya wanita itu berkata, "aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya mengunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta'ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa menimbulkan kegusaran Allah Ta'ala".
Tsabit amat bahagia mendapatkan istri yang ternyata amat saleh dan wanita yang akan memelihara dirinya dan melindungi hak-haknya sebagai suami dengan baik. Dengan bangga ia berkata tentang istrinya, "Ketika kulihat wajahnya��Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap".
Tsabit dan istrinya yang salihah dan cantik rupawan itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke penjuru dunia. Itulah Al Imam Abu Hanifah An Nu'man bin Tsabit.



Cangkir yang Cantik
Sepasang kakek dan nenek pergi belanja di sebuah toko suvenir untuk mencari hadiah buat cucu mereka. Kemudian mata mereka tertuju kepada sebuah cangkir yang cantik. "Lihat cangkir itu," kata si nenek kepada suaminya. "Kau benar, inilah cangkir tercantik yang pernah aku lihat," ujar si kakek.
Saat mereka mendekati cangkir itu, tiba-tiba cangkir yang dimaksud berbicara "Terima kasih untuk perhatiannya, perlu diketahui bahwa aku dulunya tidak cantik. Sebelum menjadi cangkir yang dikagumi, aku hanyalah seonggok tanah liat yang tidak berguna. Namun suatu hari ada seorang pengrajin dengan tangan kotor melempar aku ke sebuah roda berputar.
Kemudian ia mulai memutar-mutar aku hingga aku merasa pusing. Stop ! Stop ! Aku berteriak, Tetapi orang itu berkata "belum !" lalu ia mulai menyodok dan meninjuku berulang-ulang. Stop! Stop ! teriakku lagi. Tapi orang ini masih saja meninjuku, tanpa menghiraukan teriakanku. Bahkan lebih buruk lagi ia memasukkan aku ke dalam perapian. Panas ! Panas ! Teriakku dengan keras. Stop ! Cukup ! Teriakku lagi. Tapi orang ini berkata "belum !"
Akhirnya ia mengangkat aku dari perapian itu dan membiarkan aku sampai dingin. Aku pikir, selesailah penderitaanku. Oh ternyata belum. Setelah dingin aku diberikan kepada seorang wanita muda dan dan ia mulai mewarnai aku. Asapnya begitu memualkan. Stop ! Stop ! Aku berteriak.
Wanita itu berkata "belum !" Lalu ia memberikan aku kepada seorang pria dan ia memasukkan aku lagi ke perapian yang lebih panas dari sebelumnya! Tolong ! Hentikan penyiksaan ini ! Sambil menangis aku berteriak sekuat-kuatnya. Tapi orang ini tidak peduli dengan teriakanku.Ia terus membakarku. Setelah puas "menyiksaku" kini aku dibiarkan dingin.
Setelah benar-benar dingin, seorang wanita cantik mengangkatku dan menempatkan aku dekat kaca. Aku melihat diriku. Aku terkejut sekali. Aku hampir tidak percaya, karena di hadapanku berdiri sebuah cangkir yang begitu cantik. Semua kesakitan dan penderitaanku yang lalu menjadi sirna tatkala kulihat diriku.
***
Teman, seperti inilah Allah membentuk kita. Pada saat Allah membentuk kita, tidaklah menyenangkan, sakit, penuh penderitaan, dan banyak air mata. Tetapi inilah satu-satunya cara bagi Allah untuk mengubah kita supaya menjadi cantik dan memancarkan kemuliaan Allah.
Apabila Anda sedang menghadapi ujian hidup, jangan kecil hati, karena Allah sedang membentuk Anda. Bentukan -bentukan ini memang menyakitkan tetapi setelah semua proses itu selesai.Anda akan melihat betapa cantiknya Allah membentuk Anda.






Kalau Abang Mati Duluan
Pada Selasa, 24 Februari 2009 09:37 WIB

“Jangankan nanya, ngebayangainnya aja nggak sanggup!” Kata seseorang waktu kuminta dia bertanya kepada suaminya bahwa bila suaminya meninggal duluan, boleh nggak dia nikah lagi sama laki2 lain.
He he, iseng banget ya permintaanku?!
Trus aku bilang aja, “Ya nggak usah dibayangin lah, iseng aja tanya. Atau nanyanya gini… “kalo aku yang mati duluan, kamu bakalan nikah lagi nggak?”…gitu…”
Hi hi hi, penasaran aku, apa jawaban para suami. Kalau jawaban suamiku sih aku tahu.
***
Waktu itu aku baru saja mengetahui bahwa tetanggaku yang telah menjanda lebih dari dua tahun itu udah nikah lagi. Kabar itu pun aku sampaikan kepada suamiku. Kukatakan padanya, “Bang, ternyata ibu itu dah nikah lagi.”
Nggak penting banget ya ngasih tahu suamiku?! Tapi berhubung tetangga dekat, kayaknya suamiku perlu tahu juga deh, supaya nggak kaget gitu lho, soalnya kan pas dia nikah kita nggak tahu. Ntar kalo ada orang yang ngomong macam2, suamiku jadi bisa ngebelain.
Trus suamiku tiba2 bilang, “Wah, kasian dong suaminya yang pertama.”
“Kok kasian?” tanyaku tiba2 juga.
“Iya…” jawab suamiku singkat.
Aku pun teringat hadits tentang shahabiyah yang tidak menikah lagi setelah suaminya meninggal dunia.
***

Dari Maimun bin Mihran, ia mengatakan: “Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘anhu meminang Ummud Darda’, tetapi ia menolak menikah dengannya seraya mengatakan, ‘Aku mendengar Abud Darda’ mengatakan: ‘Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, artinya : “Wanita itu bersama suaminya yang terakhir,’ atau beliau mengatakan, ‘untuk suaminya yang terakhir”[1]
Dari ‘Ikrimah bahwa Asma’ binti Abi Bakar menjadi isteri az-Zubair bin al-‘Awwam, dan dia keras terhadapnya. Lalu Asma’ datang kepada ayahnya untuk mengadukan hal itu kepadanya, maka dia mengatakan, “Wahai puteriku, bersabarlah! Sebab, jika wanita memiliki suami yang shalih, kemudian dia mati meninggalkannya, lalu ia tidak menikah sepeninggalnya, maka keduanya dikumpulkan di dalam Surga” [2]
***
Trus iseng2 aku tanya sama suamiku, “Emangnya kalo abang mati duluan, muti nggak boleh nikah lagi?”
Kata suamiku, “Ya enggak dooong…”
Ha ha ha… aku jadi ketawa. Walaupun sebenarnya kata2 itu kedengaran indah banget bagiku.
“Tapi kalo muti yang mati duluan, abang bakalan nikah lagi nggak?” tanyaku lagi, penasaran.
Dengan cepat suamiku menjawab, “Plis deh, Ti… ntar siapa yang ngurusin abang?”
Ha ha ha… aku jadi tambah ketawa. Maksudnya “ntar siapa yang ngurusin abang, jadi mudah2an aku jangan mati duluan.”? Atau “Ntar siapa yang ngurusin abang, jadi abang bakalan nikah lagi.”? He he he… Wallahua’lam.
“Tapi bang,” lanjutku, “kalo abang mo nikah lagi, toh muti juga udah mati, jadi kan nggak akan cemburu lagi ya?!”
“Iya, jadi nggak apa2 khaaan?!” goda suamiku.
“Huuu, dasar!” Kataku sedikit sewot, bercanda. “Tapi nggak apa2 deh, bang. Daripada ntar abang kesepian di surga.” kataku, “Kayak bidadarinya pada mau aja sama abang.” [3]
Ha ha ha… ! Aku dan suamiku tertawa lepas.
“Pede banget ya kita, kayak bakalan masuk surga aja…” kataku tersadar… (Aamiin…)
“Tapi di surga mah nggak ada cemburu2an ya bang, sama bidadari?” kataku.
“Ya enggak lah, makanya jadi istri sholehah. Ntar suaminya diambil bidadari duluan lho [4].” Kata suamiku.
“Ya udah, bang, kalo gitu bilang aja sama bidadarinya kalo abang udah punya istri.” [5]
Ha ha ha ha ha!
Aku dan suamiku pun tertawa lagi… He he he!
Subhanallah, percakapan yang tak terlupakan… mencerahkan hari, membuat berfikir.

AKU KEMBALI
Oleh : Achie
Bagiku ini adalah pijakan perdanaku di bumi Nanggroe Darussalam, yang kata banyak orang merupakan salah satu daerah anti maksiat, suci lagi bersih dari dosa. Aku yakin karena itulah kenapa aku ada disini sekarang. Dengan membawa sebuah misi untuk mengotori kesucian surgawi di tempat ini.
Akupun tersenyum. Sepintas kulihat sepasang gadis berkulit sedikit gelap. Mereka sedang menanti seseorang yang ingin mereka jumpai. Mereka asyik berbincang, gadis yang menurutku lebih manis dari temannya itupun serius mendengarkan, sambil merapikan penutup kepala yang rusak tersapu angin. Aku tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Yang aku tahu mereka pasti gadis muslim. Seperti yang pernah kulihat direkaman Mr. Jhon Abraham, sang master of mission. Ketika kami " Team of Mission " diperkenalkan dan dibina untuk terampil dalam melaksanakan misi kristenisasi yang akan disebarkan ke Negara-negara Islam. Dalam pelatihan itulah aku mengenal budaya Islam, symbol dan cara berpakaian mereka yang selalu membuat kami tertawa.
" They are so crazy. Kulit mereka pasti tidak bagus, selalu ditutupi padahal suasana lumayan panas. " Mark, sobat karibku selalu berkomentar seperti itu setiap kali tayangan ‘ Moslem's World ‘ ditampilkan.
" Makanya gadis mereka itu tidak laku di dunia internasional, ketutup kali. " Zeke sang playboy profesional itupun ikut berkomentar.
Dan aku hanya tersenyum, selalu sepert itu. Aku juga tidak mengerti kenapa aku merasa kesejukan tersendiri disaat aku melihat tayangan itu. Seperti saat ini, aku merasa ada sesutau yang kembali, tapi aku tak tahu apa itu. Padahal tercatat ini adalah langkah pertamaku disini. Mobil Volvo merah marun itupun tiba, Mr. Richard menyambutku hangat.
" Welcome to Aceh, Harry. Aku harap kau betah disini. "
" Thank's, sir. " Jawabku datar.
" Bagaimana keadaan Mr. Jhon? " Tanyanya.
" He's fine. "
" Kau sangat beruntung Harry, aku yakin kau pasti siswa andalan Mr. Jhon, terbukti dengan hadirmu disini. " Sambil tersenyum bangga Mr. Richard menepuk bahuku pelan, dan senyum itu kulihat begitu menyimpan misteri, namun aku tak tahu apa itu. Aku yakin semua akan baik-baik saja.
Lalu, " of Course. " Jawabku mantap, akupun tersenyum tulus. Yup itu adalah pernyataan yang sangat benar pikirku. Karena memang aku adalah salah satu siswa teladan di Team itu. Mr. Jhon selalu mengatakan itu " You're the best, Harry. " Dan aku selalu bangga dibuatnya. Harry Mc Hadden, itulah namaku. Aku tak tahu apakah nama itu adalah nama pemberian orang tuaku atau tidak. Aku tak tahu apakah aku terlahir dari sebuah keluarga lengkap yang dihuni oleh kasih sayang sepasang Mom dan Dad atau aku hanyalah anak yang terlahir dengan kerintihan seorang Mom saja tanpa harapan. Entahlah, yang jelas aku sama sekali tidak memiliki memori untuk itu, aku tidak ingat langkah kecilku berlari, aku tidak ingat suara bisikan kasih sayang seorang Ibu. Yang aku tau hanyalah, aku pemuda yahudi yang diasuh oleh pastur Mr. Jhon Abraham. Namun, mata dan rambutku yang hitam pekat kelihatan sedikit berbeda dari teman-temanku membuat aku sedikit risih karena aku merasa begitu asing. Tapi jauh di sudut hatiku rasa itu berbeda, keanehan ini menjadikan satu tanda tanya yang sampai saat ini belum kutemukan jawabannya.
" Ayo kita jalan, sebelumnya aku akan membawamu keliling terlebih dahulu, sebelum kita berhenti di Hermes Palace Hotel, tempat kau tinggal selama kau berada di Aceh ini. " Mr. Richard membuyarkan lamunanku.
" It's nice, sir. Aku juga ingin melihat daerah ini. " Jawabku singkat.
" Oce, let's go. "
Kami lalu berangkat meninggalkan Bandara Iskandar Muda yang begitu banyak peminatnya setelah tiga tahun terakhir ini sejak bencana besar Tsunami melanda daerah suci ini, seakan Aceh menjadi objek wisata yang termasyhur. Perbincanganpun terus berlanjut. Banyak hal yang kutanyakan pada Mr. Richard, karena usiaku yang beranjak 15 tahun tidaklah sangat matang untuk mengemban misi ini.
Terkadang ribuan pertanyaan menghantuiku, kenapa mereka terlalu cepat memberi tugas ini padaku, padahal aku merasa belum matang untuk ini. Tapi Mr. Jhon Abraham begitu mempercayaiku. Dia sangat yakin aku mampu melaksanakan titahnya. Memang aku akui, kegesitanku dalam menanggapi satu masalah merupakan kelebihanku diantara teman-teman yang lain. Aku juga tidak tahu, materi-materi mengenai permasalahan umat muslim yang diberikan sangat aku pahami, seperti terhafal dipikiranku. Seperti misalnya, ketika Mr. Jhon menanyakan seperti apa proses pengajian anak-anak yang berlaku di kalangan umat Islam, dan aku menjawabnya dengan sangat betul. Applause menggema untukku. Aku sendiri bingung kenapa aku bisa menjawabnya, kala itu aku tersenyum. Lalu, akupun memberi ide untuk terlebih dahulu mendekati anak-anaknya, karena anak-anak adalah sasaran empuk untuk misi ini. Karena mereka masih terlalu polos dan suci. Forum menerima penuh usulku. Dan karena itulah aku berada disini sekarang. Beberapa menit kemudian, kami melewati sebuah bangunan indah yang sangat megah berdiri. Sebuah mesjid. Aku termangu.
" Itu dia mesjid Baiturrahman. A great mosque in Aceh. " Mr. Richard seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan. " Aku yakin kau pasti sudah melihatnya, bukan? ".
" Yup, Mr. Jhon hampir setiap kali ia memperlihatkannya. Sebagai sasaran utama katanya. " Jawabku datar.
" Right! ". Jawab Mr. Richard mantap.
Kesejukan itu kembali menyiramiku. Sejak masa pelatihan aku sudah merasakan hal yang sama, tapi selalu tak jelas bentuknya. Karena aku juga bingung apa itu. Tapi, setelah aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bangunan reliji itu, rasa itu mulai samar bentuknya, hampir teraba tapi tetap saja membuat kepalaku pusing. Akupun menggeleng keras agar pikiran itu segera hilang. Lalu, aku melihat kesekeliling untuk segera menghapus penat yang kurasakan, namun rasa itu semakin menggebu. Aku mengenal jalan ini. Aku merasa pernah berjalan berulang kali disini. Penuh canda, penuh tawa dan penuh kedamaian. Tapi, lagi-lagi bentuk itu tidak sempurna.
" Harry, are you ok? " Richard mulai mencium gelagatku.
" Yes, I'm ok, sir . " Jawabku menetralkan.
" Aku yakin kau pasti sangat lelah. Baiklah aku akan mengantarmu ke hotel, agar kau bisa istrirahat dan esok adalah hari perjuanganmu. "
" aku pikir juga seperti itu." Setujuku.
Setibanya di hotel, aku sedikit merasa lega. Sesaat ku temani Richard berbincang dengan gadis receptionist. Aku mengambil kunci yang diberikan oleh gadis itu, tak sengaja aku melihat nama yang tercantum di pakaiannya 'Maria', aku tak yakin itu nama aslinya. Langkah ku percepat, karena kelelahanku mulai bertambah.
Aku disapa lembut oleh seorang gadis pelayan hotel yang tampak jelas garis wajah Acehnya, namun ia tidak seperti gadis yang kutemui di bandara tadi, rambutnya tergerai lepas dengan sedikit warna merah ditengahnya. Aku kembali tersenyum. Dia pasti korban teamku, batinku berbisik . Kemudian aku membuka pintu kamarku dan segera beristirahat.
Esok paginya, pukul 08.00, Mr.Richard kembali menjemputku, Kali ini dia bersama tiga orang bule lainnya, aku yakin pasti mereka juga dari NGO yang sama dengan Richard. Setelah " say hello " sebentar, kami melanjutkan perjalanan. Dan kami melewati sebuah mesjid yang lebih kecil dari mesjid yang kulihat kemarin. Tanpa sadar aku berkata, " Stop here Richard! Ada hal yang harus aku teliti. " Alasanku. Entah kenapa magnet itu sangat kuat. Mesjid Darul Makmur Lambaro Skep, sekilas kubaca papan yang terdapat di depan mesjid itu. Kembali ku termangu. Rasa itu semakin berbentuk, aku terus berjalan dengan memperhatikan secara seksama mesjid itu. Sekilas aku melihat dua orang pemuda yang usianya lebih mapan dariku, berdiri di tangga mesjid memberi senyum tulus padaku. Aku pun membalas senyum itu. Lalu, pandanganku terpaku pada tangga dimana mereka berdiri, aku terpaku. Sepertinya aku melihat sesosok anak kecil di sana yang aku yakin itu adalah aku, berlari berkejaran bersama teman yang lain, namun aku ragu.
" Harry. " Panggilan Richard kesekian kalinya baru kusadari.
" What are you doing here ? Kita harus segera pergi ke lapangan. Jangan buang waktu, karena kau datang kemari bukanlah hanya untuk memperhatikan bangunan yang tidak berarti apa-apa buat kita. ". Tampak gurat kemarahan di wajah pemuda matang itu. Richard adalah salah satu alumni tempatku dididik, sejak tiga tahun lalu ia telah berada di sini, tepatnya setelah tsunami melanda negeri ini dan itulah gerbang lebar buat para team kami.
" Apa yang engkau katakana ? Bangunan yang tidak ada artinya? Tapi aku merasa tempat ini sangat berarti dan punya sejarah yang sangat istimewa. " Jawabku mantap.
" Apa? Bagaimana mungkin terjadi, kau terlahir dan dibesarkan di Amerika, kau berdarah Yahudi, tidak mungkin kau mengenal mesjid, terlebih lagi daerah ini. "
" Entahlah Rich, tapi aku yakin perasaan ini tidak salah. Give me a chance. " Mohonku.
" Tidak sama sekali, ayo kita berangkat sebelum semuanya terlambat. Kalo tidak..." Richard mulai memberii ancaman padaku. Namun tiba-tiba...
" Hanif? " Seseorang lelaki perawakan khas Aceh dan sedikit bergaya Arab memanggil nama itu. Aku tak tahu siapa yang dia maksud, tapi aku juga tidak mengerti mengapa aku menoleh.
" Hanif? Kamu benar Hanif kan? Santri ustadz yang paling shalih dan pintar. " Sambungnya.
" Apakah yang kamu maksud itu saya? " Tanyaku ragu.
" Iya dong, masa' orang lain. Nama kamu kan Hanif, Muhammad Hanif. "
" Apa yang kau katakan tuan. Kau pasti salah orang, namanya Harry Mc Hadden. Bukan Hanif atau apapun itu. Harry, ayo kita pergi sekarang. "
" Hanif? Benarkah kau itu sayang. " Seorang ibu kira-kira berumur lima puluh tahun kembali memanggilku dengan nama itu. Aku semakin yakin. Terlebih ketika aku melihat mata ibu itu, mata yang selama ini hilang dari lamunanku. Aku kembali terpaku, namun kali ini rasa itu tinggal sekian persen akan sempurna. Tapi aku masih terdiam.
" Hanif, kau adalah anakku ini ibumu...apa kau tidak mengenalku lagi? Aku yakin kalau kau masih hidup dan ternyata Allah mengabulkan do'a ibumu ini, kau kembali anakku..." Ratapan ibu itu sangat menyentuh hatiku.
" Hanif, benar apa yang beliau katakan, kau memang Hanif, anak yang hilang dibawa pergi oleh mereka para misionaris. " Tambah sang laki-laki itu, yang mengaku sebagai guru pengajianku. Dan aku, apa yang mereka perbincangkan, ini menjadi bukti yang kesekian kalinya bahwa aku benar anak negeri ini. Lalu, aku menoleh ke Richard dengan tatapan penuh harap.
" Rich, aku merasakan hal yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya, aku bahagia bertemu mereka. Aku rindu tatapan mata ibu itu dan aku yakin kedatanganku kemari bukanlah langkah pertamaku, tapi kedatanganku ini membuktikan bahwa aku kembali. " Aku kembali menoleh kepada ibu itu dan sekejab aku sudah berada dalam pelukan hangatnya, yang sudah lama tak kurasakan.
Dan aku semakin yakin pelukan ini yang benar-benar hilang selama ini. Rasa itu telah sempurna. Aceh aku telah kembali, menjadi pemudamu yang setia.



Cinta dan Perkawinan Menurut Plato
Satu hari, Plato bertanya pada gurunya, "Apa itu cinta? Bagaimana saya bisa menemukannya?
Gurunya menjawab, "Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta" Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.
Gurunya bertanya, "Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?"
Plato menjawab, "Aku hanya boleh membawa satu saja, dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik)"
Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut. Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwasanya ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya"
Gurunya kemudian menjawab " Jadi ya itulah cinta"
Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya, "Apa itu perkawinan? Bagaimana saya bisa menemukannya?"
Gurunya pun menjawab "Ada hutan yang subur didepan sana. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan"
Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar / subur, dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja.
Gurunya bertanya, "Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?"
Plato pun menjawab, "sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi dikesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya"
Gurunyapun kemudian menjawab, "Dan ya itulah perkawinan"
CATATAN - KECIL :
Cinta itu semakin dicari, maka semakin tidak ditemukan. Cinta adanya di dalam lubuk hati, ketika dapat menahan keinginan dan harapan yang lebih. Ketika pengharapan dan keinginan yang berlebih akan cinta, maka yang didapat adalah kehampaan... tiada sesuatupun yang didapat, dan tidak dapat dimundurkan kembali. Waktu dan masa tidak dapat diputar mundur. Terimalah cinta apa adanya.
________________________________________________________
Perkawinan adalah kelanjutan dari Cinta. Adalah proses mendapatkan kesempatan, ketika kamu mencari yang terbaik diantara pilihan yang ada, maka akan mengurangi kesempatan untuk mendapatkannya, Ketika kesempurnaan ingin kau dapatkan, maka sia2lah waktumu dalam mendapatkan perkawinan itu, karena, sebenarnya kesempurnaan itu hampa adanya.

Rahasia Sebuah Nama
Oleh : Eman Sulaiman

Beberapa waktu lalu, saya melihat seorang teman kantor yang sedang hamil membuka-buka internet (nge-browsing). Selama ini jarang sekali saya melihat dia bermain-main dengan internet. “Wah, tumben nih buka-buka internet, cari apaan?,” tanya saya. “Ini Kang, saya sedang cari nama-nama bayi untuk anak saya!,” jawabnya sambil tersenyum. “Udah dapat?,” tanya saya lagi. “Teu acan aya nu cocok, (belum ada yang cocok),” jawabnya. Setelah itu saya memberi tahu si Teteh teman saya tadi beberapa referensi tentang nama-nama anak!

Nama. Inilah satu kata yang selalu dimiliki setiap benda. Ia adalah simbol atau identitas di mana manusia dapat mengidentifikasikan objek-objek yang ada di sekitarnya. Dengan nama pula, seseorang dapat membedakan suatu benda dengan benda lainnya, atau antara dirinya dengan hal-hal yang bukan dirinya.

Dalam sebuah nama terkandung sekumpulan informasi tentang identitas orang yang memilikinya, entah itu jenis kelamin (gender), suku bangsa, kepribadian, agama, latar belakang keluarga, pandangan hidup, status sosial, budaya, dan lainnya. Walau tidak mencakup semua informasi ini, sebuah nama pasti mengandung minimal sebuah informasi tentang identitas diri. Nama Siti Yanuarti misalnya. Orang yang memiliki nama ini pasti seorang wanita, beragama Islam, orangtuanya mungkin taat beribadah, lahir bulan Januari, dan lainnya. Demikian pula dengan nama Alesandro Lucatelli, Mike Tyson, Jacky Chan, Abdullah bin Idrisi al-Maghribi, dan lainnya. Dalam nama tersebut pasti ada satu dua hal yang menginformasikan jati diri pemiliknya.

Karena itu, pertanyaan retoris dari Juliet: “What’s the meaning in a name? Apalah arti sebuah sebuah nama?”—seperti diungkapkan William Shakespeare dalam novelnya Romeo & Juliet—tidak lagi tepat untuk memberi kesan bahwa nama itu tidak atau kurang penting.

Kenyataannya, nama tidak saja sebagai identitas diri, lebih jauh lagi, nama bisa membentuk rasa percaya diri bahkan konsep diri seseorang. Ada orang yang tidak pede dalam bergaul, minder, atau menyalahkan orangtua mereka karena masalah nama. Mereka merasa kikuk dengan nama yang mereka sandang, walaupun nama tersebut memiliki makna yang baik, hanya karena “sedikit kampungan”. Saat memperkenalkan diri dalam seminar, saat dipanggil dokter di ruang tunggu, saat berkunjung ke rumah calon mertua, saat dipanggil teman di keramaian, biasanya menjadi momentum yang kurang mengenakkan. Bahkan tak jarang, ketika harus menyebutkan nama, biasanya nama tersebut sering disamarkan atau hanya disebutkan nama belakangnya saja (duh pengalaman!).

Biasanya orang seperti ini berasal dari desa atau daerah, yang karena satu dua hal “tersasar” ke kota, entah itu karena kuliah, bekerja, dsb. Ingin rasanya mereka mengganti namanya dengan yang lebih nge-trend dan lebih kosmopolitan. Sayangnya, nama tersebut sudah kadung tertera di ijasah, akta kelahiran, atau sebagai rasa penghormatan kepada orangtua yang telah memberikan nama, sehingga mereka menunda keinginan tersebut.

Menurut pandangan Islam, kita tidak layak menjadi minder, rendah diri, atau malu hanya karena sebuah nama. Kita layak malu kalau kelakuan kita menyebalkan orang lain. Meskipun demikian, Islam menekankan agar pemeluknya memiliki nama-nama yang indah. Rasulullah Saw menganjurkan para orangtua untuk memberikan nama yang baik lagi indah untuk anak-anaknya. Bukankah nama adalah sebuah doa juga ungkapan cinta? Di mana seseorang akan tertantang untuk berperilaku sesuai nama yang dimilikinya.

Dari sini, saya bisa memahami kebingungan si Teteh tadi dalam mencarikan nama yang cocok untuk calon bayinya. Memang, memberi nama anak gampang-gampang susah.

Ada beberapa kriteria dalam kita memberikan nama pada anak. Pertama, nama anak harus memiliki makna yang baik. Baiknya arti sebuah nama bisa disebabkan karena di dalamnya terkandung doa, pujian, dan harapan dari orangtua. Kedua, nama anak harus memiliki nilai bunyi yang manis, ritmis, estetis, merdu, sehingga enak didengar. Ketiga, nama harus mencerminkan aspek kemaskulinan dan kefemininan. Keempat, nama anak hendaknya mencerminkan sesuatu yang monumental. Sebagai cerminan cinta, nama anak bisa merupakan perpaduan antara nama kedua orangtuanya, setting ketika ia dilahirkan, atau peristiwa yang mengesankan.

Intinya, nama yang baik adalah nama yang memancarkan nilai-nilai kehidupan. Ia merupakan paduan harmonis makna yang dalam dan nilai sastra yang tinggi. Ia harus mengandung doa dan harapan suci, menggairahkan semangat juang yang melahirkan kecintaan pada kebenaran, memotivasi pemiliknya menjadi insan berakhlak mulia lagi berilmu.

Bagi yang sudah terlanjur memiliki nama yang kurang indah dan kurang bermakna, jangan bersedih, indahkan dan maknai namamu dengan akhlak mulia. Bagi yang memang namanya sudah indah, maka makin perindah ia dengan akhlak mulia pula. Setuju? ■




Surat Untuk Yang Tersakiti
Oleh : Muhammad Baiquni
Teruntuk seseorang yang pernah ku sakiti.
Teruntuk seseorang yang kecewa dengan tingkahku selama ini, untuk dia yang terus berdiam diri, untuk seseorang yang pernah mengisi namanya dihatiku ini.
Assalamu’alaikum wahai engkau yang pernah tersakiti,
Lama kita tidak saling mengirim kabar, teramat lama juga kita membangun luka antara sesama kita. Maafkanlah aku yang terus kecewa, maafkan aku yang begitu posesif ingin melindungimu namun aku tak pernah mengerti cara yang dewasa yang kau anggap baik untuk melindungimu. Maafkanlah aku yang tak pernah dewasa dalam mengambil sikap.
Teramat lama aku ingin segera mengakhiri perang dingin ini. Teramat lama aku ingin kita kembali berteman seperti dulu lagi, tanpa harus ada makian antara aku dan kamu. Teramat lama dan telah teramat sesak aku menunggu waktu yang tepat untuk mengucapkan kata maaf ini. Maka maafkanlah aku.
Apakah engkau harus terus memegang kata: tidaklah mudah untuk memaafkan.
Bukankah Tuhan saja Maha Pemaaf, namun mengapa aku atau engkau tidak mampu memaafkan? Sudah menjadi tuhan-tuhan kecilkah kita?
Atau memang engkau telah memaafkan segala kesalahanku? Namun mengapa telah terputus tali silaturahmi diantara kita?
Jangan seperti itu. Sungguh jangan seperti itu. Janganlah begitu mudah memutuskan sesuatu yang berat, janganlah begitu mudah membenci sesuatu. Hal yang engkau anggap ringan itu sebenarnya adalah sesuatu yang berat di mata Allah. “Dan janganlah kebencianmu pada suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil.”
Masih ingatkah engkau suatu kisah, dimana engkau bercerita: “Aku pernah memiliki seekor domba, dulu domba itu begitu kusayang. Kemana aku pergi domba itu mengikutiku, dan kemana domba itu beranjak akupun mengikutinya. Namun suatu hari aku amat begitu buruk dan membencinya, domba itu mulai sering mengomel. Dia mengoceh betapa aku harus lebih sering mandi, dia terus berkelakar bahwa tidak baik jika aku tidak mandi. Dia mulai sering mengkritikku. Aku marah. Aku ku tinggalkan domba itu sendiri. Tidak peduli dia mau mati atau terisak nangis sendiri. Bahkan domba itu mulai membentak bahwa selama ini aku tidak ikhlas menemaninya, padahal aku ikhlas.”
Dan aku pun tersenyum mendengar kisahmu. Aku pun berkata, “Mengapa tidak kau temani lagi dombamu yang sedang merajuk itu?”
Kau pun ketus menjawab, “TIDAK! Dia bukan dombaku!”
Tahukah engkau wahai seseorang yang pernah ku sakiti, aku pun kini merasakan apa yang dialami oleh domba itu. Terlalu sakitkah dirimu sehingga engkau begitu membenciku dan menjadikan aku laksana domba dalam ceritamu?
Jangan seperti itu. Sungguh jangan seperti itu. Janganlah engkau seperti Yunus ketika meninggalkan kaumnya karena kemarahannya akibat kezaliman kaumnya dan Allah pun memperingatkan Yunus, “Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.”
Dulu kita pernah berteman baik sekali, hingga aku pun mengerti kapan kau akan sakit dalam tiap-tiap bulanmu. Dulu engkau begitu pengasih, hingga tahu betapa aku menginginkan sesuatu dan engkaupun memberikannya. Dulu, kita berdua begitu baik.
Namun mengapa setelah datang kebaikan, timbul keburukan?
Sedari awal, aku telah memaafkanmu. Bahkan aku merasa, kesalahanmu di mataku adalah akibat salahku. Aku yang memulai menanam angin, dan aku melihat badai di antara kita. Badai dingin yang amat begitu menyesakkan. Paling tidak untukku.
Jangan takut jika engkau khawatir perasaan cinta yang dulu melekat akan kembali timbul. Aku bukanlah seorang baiquni seperti yang dulu lagi. Aku telah mengubah sudut pandangku tentang seseorang yang layak aku cintai. Aku sekarang sedang mencari bidadari.
Ingin aku bercerita kepadamu, kandidat-kandidat bidadariku.
Mengapa setelah habis cinta timbul beribu kebencian. Mengapa tidak mencoba membuka hati untuk seteguk rasa maaf. Jujur, bukan dirimu saja yang tersakiti, namun aku juga. Namun aku mencoba membuang semua sakit yang begitu menyobek hati. Andai engkau tahu wahai engkau yang pernah kusakiti.
Pernahkah engkau menangis karenaku seperti aku menangis karenamu? Seperti aku terisak dihadapanmu. Pernahkah?
Mungkin dirimu telah menemukan seseorang yang begitu engkau sayangi. Seseorang yang mampu membangkitkan hidupmu lagi, tetapi aku? Pernahkah engkau berpikir betapa hal yang engkau lakukan terhadapku begitu berdampak laksana katrina. Bahkan setelah itu aku masih memaafkanmu, bahkan aku menunduk memintamu memaafkan aku.
Sudah menjadi tuhan kecilkah dirimu? Bahkan Tuhan saja memaafkan.
Tahukah wahai engkau yang pernah tersakiti, betapa aku meneteskan air mata saat menulis ini. Betapa aku seolah pendosa laksana iblis yang terkutuk. Apakah engkau mengerti apa yang kurasakan? Mengertikah dirimu?
Tak pernah ada manusia yang luput dari suatu kekhilafan. Tidak aku, tidak juga kamu wahai engkau yang pernah tersakiti. Maka, bukalah pintu maafmu itu.
Untuk surat ini, untuk kekhilafanku yang lampau, untuk kenangan yang membuatmu sakit, untuk segala sesuatu tentang kita, aku minta maaf.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ayah....Maafkan aku...
Dear All,
Buat semua yang telah menjadi orang tua dan atau calon orang tua.... Ingatlah....semarah apapun, janganlah kita bertindak berlebihan... Sebagai orang tua, kita patut untuk saling menjaga perbuatan kita especially pada anak2 yg masih kecil karena mereka masih belum tahu apa2.
Ini ada kisah nyata yg berjudul "Ayah, kembalikan tangan Dita........."
Sepasang suami isteri - seperti pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Sendirian ia di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur.
Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.
Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan, tetapi karena lantainya terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya.� Ya... karena mobil itu bewarna gelap, maka coretannya tampak jelas.� Apalagi anak-anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya.
Hari itu ayah dan� ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah.
Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, "Kerjaan siapa ini !!!" ....
Pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu berlari keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya merah padam ketakutan lebih2 melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan ' Saya tidak tahu..tuan."���� "Kamu dirumah sepanjang hari, apa saja yg kau lakukan?"� hardik si isteri lagi.
Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata "DIta yg membuat gambar itu ayahhh.. cantik ...kan!" katanya sambil memeluk ayahnya sambil bermanja seperti biasa. Si ayah yang sudah hilang kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus dipukulkannya berkali2 ke telapak tangan anaknya. Si anak yang tak mengerti apa apa menagis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya. Sedangkan Si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan.
Pembantu rumah terbengong, tdk tahu hrs berbuat apa... Si ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya. Setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar.
Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka2 dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka2nya itu terkena air. Lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokkan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke majikannya. � "Oleskan obat saja!" jawab bapak si anak.
Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si ayah konon mau memberi pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari bertanya kepada pembantu rumah.� "Dita demam, Bu"...jawab pembantunya ringkas. "Kasih minum panadol aja ," jawab si ibu. Sebelum si ibu masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Dita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya. Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Dita terlalu panas. "Sore nanti kita bawa ke klinik. Pukul 5.00 sudah siap" kata majikannya itu. Sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya susah serius. Setelah beberapa hari di rawat inap dokter memanggil bapak dan ibu anak itu. "Tidak ada pilihan.." kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah terlalu� parah. "Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah" kata dokter itu. Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yg dapat dikatakan lagi.
Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata isterinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata.� "Ayah.. ibu... Dita tidak akan melakukannya lagi.... Dita tak mau lagi ayah pukul.� Dita tak mau jahat lagi... Dita sayang ayah.. sayang ibu.", katanya berulang kali membuatkan si ibu gagal menahan rasa sedihnya.� "Dita juga sayang Mbok Narti.." katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.
"Ayah.. kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil.. Dita janji� tdk akan mengulanginya lagi!��� Bagaimana caranya Dita mau makan nanti?...� Bagaimana Dita mau bermain nanti?...� Dita janji tdk akan mencoret2 mobil lagi, " katanya berulang-ulang.
Serasa copot jantung si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung2� dia sekuat hati namun takdir yang sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah jadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski sudah minta maaf.

Jujur
Siang ini tadi yayangku tiba-tiba nelpon. Makan siang yuk, ajaknya. Oke, jawabku. So she picked me up at the lobby of Jakarta Stock Exchange building. Selepas SCBD, kami masih belum ada ide mau makan dimana. Ide ke soto pak Sadi segera terpatahkan begitu melihat bahwa yang parkir sudah sampai sebrang-sebrang.
Akhirnya kami memutuskan makan gado-gado di Kertanegara. Bisa makan di mobil soalnya. Sampai di sana masih sepi. Baru ada beberapa mobil. Kami masih bisa milih parkir yang enak. Mungkin karena masih pada jumatan. Begitu parkir, seperti biasa, joki gado-gado sudah menanyakan mau makan apa, minum apa. Kami pesan dua porsi gado-gado + tehbotol.
Sambil menunggu pesanan, kami pun ngobrol. So, ketika tiba2 ada seorang pemuda lusuh nongol di jendela mobil kami, kami agak kaget. "Semir om?", tanyanya.
Aku lirik sepatuku. Ugh, kapan ya terakhir aku nyemir sepatuku sendiri? Aku sendiri lupa. Saking lamanya. Maklum, aku kan karyawan sok sibuk... Tanpa sadar tanganku membuka sepatu dan memberikannya pada dia.
Dia menerimanya lalu membawanya ke emperan sebuah rumah. Tempat yang terlihat dari tempat kami parkir. Tempat yang cukup teduh. Mungkin supaya nyemirnya nyaman.
Pesanan kami pun datang. Kami makan sambil ngobrol. Sambil memperhatikan pemuda tadi nyemir sepatuku. Pembicaraan pun bergeser ke pemuda itu.
Umur sekitar 20-an. Terlalu tua untuk jadi penyemir sepatu. Biasanya pemuda umur segitu kalo tidak jadi tukang parkir or jadi kernet, ya jadi pak ogah.
Pandangan matanya kosong. Absent minded. Seperti orang sedih. Seperti ada yang dipikirkan. Tangannya seperti menyemir secara otomatis. Kadang2 matanya melayang ke arah mobil-mobil yang hendak parkir, (sudah mulai ramai). Lalu pandangannya kembali kosong.
Perbincangan kami mulai ngelantur kemana-mana. Tentang kira2 umur dia berapa, pagi tadi dia mandi apa enggak, kenapa dia jadi penyemir dll. Kami masih makan saat dia selesai menyemir. Dia menyerahkan sepatunya padaku. Belum lagi dia kubayar, dia bergerak menjauh, menuju mobil-mobil yang parkir sesudah kami.
Mata kami lekat padanya. Kami melihatnya mendekati sebuah mobil. Menawarkan jasa. Ditolak. Nyengir. Kelihatannya dia memendam kesedihan. Pergi ke mobil satunya. Ditolak lagi. Melangkah lagi dengan gontai ke mobil lainnya. Menawarkan lagi. Ditolak lagi. Dan setiap kali dia ditolak, sepertinya kami juga merasakan penolakan itu. Sepertinya sekarang kami jadi ikut menyelami apa yang dia rasakan.
Tiba-tiba kami tersadar. Konyol ah. Who said life would be fair anyway. Kenapa jadi kita yang mengharapkan bahwa semua orang harus menyemir ? hihihi... Perbincangan pun bergeser ke topik lain.
Di kejauhan aku masih bisa melihat pemuda tadi, masih menenteng kotak semirnya di satu tangan, mendapatkan penolakan dari satu mobil ke mobil lainnya. Bahkan, selain penolakan, di beberapa mobil, dia juga mendapat pandangan curiga. Akhirnya dia kembali ke bawah pohon. Duduk di atas kotak semirnya. Tertunduk lesu...
Kami pun selesai makan. Ah, iya. Penyemir tadi belum aku bayar. Kulambai dia. Kutarik 2 buah lembaran ribuan dari kantong kemejaku. Uang sisa parkir. Lalu kuberikan kepadanya. Soalnya setahuku jasa nyemir biasanya 2 ribu rp.
Dia berkata kalem "Kebanyakan om. Seribu aja". BOOM. Jawaban itu tiba-tiba serasa petir di hatiku. It-just-does-not-compute-with-my-logic! Bayangkan, orang seperti dia masih berani menolak uang yang bukan hak-nya.
Aku masih terbengong-bengong waktu nerima uang seribu rp yang dia kembalikan. Se-ri-bu Ru-pi-ah. Bisa buat apa sih sekarang? But, dia merasa cukup dibayar segitu.
Pikiranku tiba-tiba melayang. Tiba-tiba aku merasa ngeri. Betapa aku masih sedemikian kerdil. Betapa aku masih suka merasa kurang dengan gajiku. Padahal keadaanku sudah -jauh- lebih baik dari dia.
Allah sudah sedemikian baik bagiku, tapi perilaku-ku belum seberapa dibandingkan dengan pemuda itu, yang dalam kekurangannya, masih mau memberi, ke aku, yang sudah berkelebihan.
Siang ini aku merasa mendapat pelajaran berharga. Siang ini aku seperti diingatkan. Bahwa kejujuran itu langka.
Sudahkah kita berani jujur? Kepada diri sendiri, kepada orang lain, dan kepada Allah ?



Cinta Itu Seperti Menunggu Bis Saja
Sebuah bis datang, dan kau bilang, "Wah...terlalu sumpek dan panas, nggak bisa duduk nyaman nih! aku tunggu bis berikutnya saja"
Kemudian, bis berikutnya datang. Kamu melihatnya dan berkata, "Aduh bisnya kurang asik nih dan kok gak cakep begini... nggak mau ah.."
Bis selanjutnya datang, cool dan kau berminat, tapi dia seakan-akan tidak melihatmu dan melewatimu begitu saja.
Bis keempat berhenti di depan kamu. Bis itu kosong, cukup bagus, tapi kamu bilang,
"Nggak ada AC nih, gua bisa kepanasan". Maka kamu membiarkan bis keempat pergi..
Waktu terus berlalu, kamu mulai sadar bahwa kamu bisa terlambat pergi ke kantor. Ketika bis kelima datang, kau sudah tak sabar, kamu langsung melompat masuk ke dalamnya. Setelah beberapa lama, kamu akhirnya sadar kalau kamu salah menaiki bis. Bis tersebut jurusannya bukan yang kau tuju!
Dan kau baru sadar telah menyiakan waktumu sekian lama..
Moral dari cerita ini, sering kali seseorang menunggu orang yang benar-benar 'ideal' untuk menjadi pasangan hidupnya. Padahal tidak ada orang yang 100% memenuhi keidealan kita. Dan kau pun sekali-kali tidak akan pernah bisa menjadi 100% sesuai keinginan dia.
Tidak ada salahnya memiliki persyaratan untuk 'calon', tapi tidak ada salahnya juga memberi kesempatan kepada yang berhenti di depan kita. Tentunya dengan jurusan yang sama seperti yang kita tuju. Apabila ternyata memang tidak cocok, apa boleh buat.. tapi kau masih bisa berteriak 'Kiri !' dan keluar dengan sopan.
Maka memberi kesempatan pada yang berhenti di depanmu, semuanya bergantung pada keputusanmu. Daripada kita harus jalan kaki sendiri menuju kantormu, dalam arti menjalani hidup ini tanpa kehadiran orang yang dikasihi.
Cerita ini juga berarti, kalau kau benar-benar menemukan bis yang kosong, kau sukai dan bisa kau percayai, dan tentunya sejurusan dengan tujuanmu, kau dapat berusaha sebisamu untuk menghentikan bis tersebut di depanmu. Untuk dia memberi kesempatan kau masuk ke dalamnya. Karena menemukan yang seperti itu adalah suatu berkah yang sangat berharga dan sangat berarti. Bagimu sendiri, dan bagi dia.
Bis seperti apa yang kau tunggu?


"Hidup Cukup"
Oleh: Radhar Panca Dahana
Bang Uki telah lebih dari 20 tahun berdagang nasi uduk di pinggir Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Uduk yang sungguh enak. Tiap pagi puluhan orang antre untuk makan di tempat atau dibawa pulang. Paling lama dua jam saja seluruh dagangan Bang Uki-ada empal, telur, semur daging, tempe goreng-ludes habis. Begitu setiap hari, 20 tahun lebih.
Pertengahan 1980-an, ekonomi Orde Baru tengah menanjak ke puncak ketinggiannya. Bang Uki, dengan ritme stabil batang pohon cabai yang terus berproduksi, belanja pukul satu dini hari, masak mulai pukul dua, berangkat pukul empat, dan seusai subuh telah menggelar barang dagangnya. Tepat jam tujuh pagi, semua tuntas. Pukul sepuluh, ia sudah nongkrong di teras rumah, lengkap dengan kretek, gelas kopi, dan perkutut. "Tinggal nunggu lohor," tukasnya pendek.
Berulang kali pertanyaan bahkan desakan untuk membuka kios terbukanya hingga lebih siang sedikit ditolak Bang Uki. "Buat apa?" tukasnya. "Gua udah cukup. Anak udah lulus es te em. Berdua bini gua udah naik haji. Apalagi?" Pernah sekali penulis jumpai ia sedang memasak di rumahnya. Langit di luar masih gelap. Kedua mata Bang Uki terpejam. Tangan- nya lincah mengiris bawang merah. Saya menegur. Tak ada reaksi. "Abah masih tidur," istrinya balas menegur.
Kini, 15 tahun kemudian, Bang Uki sudah pensiun. Wajahnya penuh senyum. Hidupnya penuh, tak ada kehilangan. Kami yang kehilangan, masakan sedap khas Betawi. Kami sedikit tak rela. Bang Uki terlihat begitu ikhlasnya. Wajahnya terang saat ia dimandikan untuk kali terakhirnya. Dua jam berdagang, enam jam bekerja, telah mencukupkan hidupnya.
Dan Bang Uki tidak sendiri. Nyi Omah juga tukang uduk di Pasar Jumat, Pak Haji Edeng tukang soto Pondok Pinang, pun begitu. Tukang pecel di Solo, gudeg di Yogya, nasi jamblang di Cirebon, atau bubur kacang hijau di Bandung, juga demikian. Mereka yang bekerja dan berdagang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Jika telah cukup, untuk apa bekerja lebih. Untuk apa hasil, harta atau uang berlebih? "Banyak mudaratnya," kilah Pak Haji Edeng.
Mungkin. Apa yang kini jelas adalah perilaku bisnis dan ekonomi tradisional negeri ini ternyata mengajarkan satu moralitas: hidup wajib dicukupi, tetapi haram dilebih-lebihkan. Berkah Tuhan dan kekayaan alam bukan untuk kita keruk seorang. Manusia adalah makhluk sosial. Siapa pun mesti menenggang siapa pun.
Alternatif kapitalisme
Moralitas berdagang "Bang Uki" tentu bertentangan dengan apa yang kini menjadi moral dasar perekonomian material- kapitalistik. Di mana prinsip laissez faire atau free will dan free market digunakan tak hanya untuk memberi izin bahkan mendesak setiap orang untuk "mendapatkan sebanyak-banyaknya dengan ongkos sesedikit mungkin". Satu spirit yang nyaris jadi kebenaran universal dan hampir tak ada daya tolak atau daya koreksinya.
Dan siapa pun mafhum dengan segera, prinsip dan moralitas ekonomi modern itu bukan hanya melahirkan orang-orang yang sangat kaya, bahkan keterlaluan kayanya (semacam pembeli Ferrari seharga Rp 5 miliar yang mubazir di Jakarta yang macet), tetapi juga sejumlah besar orang yang hingga kini tak bisa menjamin apakah ia dapat makan atau tidak hari ini.
Moralitas kapitalistik hanya menyediakan satu jalur sosial berupa filantrofisme, yang umumnya hanya berupa "pengorbanan" material yang hampir tiada artinya dibanding kekayaan bersih yang dimilikinya. George Soros, misalnya, dengan kekayaan 11 miliar dollar AS (hampir sepertiga APBN Indonesia), mengeluarkan 400 juta dollar (hanya sekitar 4 persen atau setara dengan bunga deposito) untuk berderma dan menerima simpati global di sekian puluh negara.
Dan siapa peduli, bagaimana seorang Bill Gates, Rupert Murdoch, Liem Sioe Liong atau Probosutedjo menjadi begitu kayanya. Moralitas dasar kapitalisme di atas adalah dasar "legal" untuk meng- amini kekayaan itu. Betapapun, boleh jadi, harta yang amat berlebih itu diperoleh dari cara-cara kasar, telengas, ilegal bahkan atau-langsung dan tak langsung-dari merebut jatah rezeki orang lain.
Dan siapa mampu mencegah atau menghentikannya? Pertanyaan lebih praktisnya adalah: Siapa berani? Tak seorang pun. Hingga sensus mutakhir menyatakan adanya peningkatan jumlah harta orang- orang kaya dunia sebanding dengan peningkatan jumlah orang yang papa. Belahan kekayaan ini sudah seperti palung gempa yang begitu dalamnya.
Lalu di mana Bang Uki? Ia tak ada di belahan mana pun yang tersedia. Ia ada dan memiliki dunianya sendiri. Yang mungkin aneh, alienatif, marginal, tersingkir, luput, apa pun. Namun sesungguhnya, ia adalah sebuah alternatif. Bukan musuh, lawan, atau pendamping kapitalisme. Ia adalah sebuah tawaran yang membuka kemungkinan di tengah kejumudan (tepatnya ketidakadilan) tata ekonomi dunia saat ini.
Ekonomi cukup
Prinsip "hidup yang cukup" Bang Uki adalah landasan bagi sebuah "ekonomi cukup", di mana manusia tidak lagi mengeksploitasi diri (nafsu)-nya sendiri, juga lingkungan hidup sekitarnya. Ia mengeksplorasi potensi terbaiknya untuk memenuhi keperluan manusia, sebatas Tuhan-yang mereka percaya-menganjurkan atau membatasinya.
Bagaimana "cukup" itu didefinisi atau dibatasi, tak ada-bahkan tak perlu-ukuran dan standar. Seorang pengusaha dan profesional dapat mengukurnya sendiri dengan jujur: batas "cukup" bagi dirinya. Jika bagi dia dengan keluarga beranak dua, pembantu dua, tukang kebun, satpam atau lainnya, merasa cukup dengan sebuah rumah indah, dua kendaraan kelas menengah, mengapa ia harus meraih lebih? Mengapa ia harus melipatgandakannya?
Apalagi jika usaha tersebut harus melanggar prinsip hidup, nilai agama, tradisi dan hal-hal lain yang semula ia junjung tinggi? Andaikan, sesungguhnya ia mampu menghasilkan puluhan miliar tabungan, sekian rumah mewah peristirahatan bahkan jet pribadi, dapat dipastikan hal itu hanya akan menjadi beban. Bukan melulu saat ia berupaya meraih, tetapi juga saat mempertahankannya.
Bila pengusaha tersebut berhasil men- "cukup"-kan dirinya, secara langsung ia telah mengikhlaskan kekayaan lebih yang tidak diperolehnya (walau ia mampu) untuk menjadi rezeki orang lain. Ini sudah sebuah tindak sosial. Dan tindak tersebut akan bernilai lebih jika "kemampuan lebihnya" itu ia daya gunakan untuk membantu usaha atau sukses orang lain. Sambil menularkan prinsip "ekonomi cukup", ia akan merasakan "sukses" atau kemenangan hidup yang bernuansa lain jika ia berhasil membantu sukses lain orang dan tak memungut serupiah pun uang jasa.
Maka, secara langsung satu proses pemerataan demi kesejahteraan bersama pun telah berlangsung. Palung atau sen- jang kekayaan pun menipis. Kesempatan meraih hidup yang baik dapat dirasakan semua pihak. Pemerintah dapat bekerja lebih efektif tanpa gangguan-gangguan luar biasa dari konflik-konflik yang muncul akibat ketidakadilan ekonomi.
Dan seorang pejabat, hingga presiden sekalipun, dapat pula mendefinisikan "cukup" baginya: jika seluruh kebutuhan hidupku, hingga biaya listrik, gaji pembantu hingga pesiar telah ditanggung negara, buat apalagi gaji besar kuminta? Moralitas seperti ini adalah sebuah revolusi. Dan revolusi membutuhkan keberanian, kekuatan hati serta perjuangan tak henti.
Maka, "cukuplah cukup". Kita sederhanakan sebagai prinsip hidup/ekonomi yang "sederhana". Kian sederhana, maka kian cukup kian sejahteralah kita. Ukurannya? Yang paling sederhana, usul saya: semakin tinggi senjang jumlah konsumsi dibanding jumlah produksi kita sehari-hari, makin sederhana, makin cukup dan sejahteralah kita.
Jika Anda mampu membeli Ferrari, mengapa tak mengonsumsi Mercedes seri E saja, atau Camry lebih baik, atau Kijang pun juga bisa. Dan dana lebih, bisa Anda gunakan untuk tindak-tindak sosial, untuk membuat harta Anda bersih, aman, dan hidup pun nyaman penuh senyuman.
Beranikah Anda? Berani kita? Tak usah berlebih, kita cukupkan saja.
--------
Radhar Panca Dahana Sastrawan

Air mata Mutiara
Pada suatu hari seekor anak kerang di dasar laut mengadu dan mengeluh pada ibunya sebab sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang merah dan lembek. "Anakku," kata sang ibu sambil bercucuran air mata, "Tuhan tidak memberikan pada kita, bangsa kerang, sebuah tangan pun, sehingga Ibu tak bisa menolongmu." Si ibu terdiam, sejenak, "Aku tahu bahwa itu sakit anakku. Tetapi terimalah itu sebagai takdir alam. Kuatkan hatimu. Jangan terlalu lincah lagi. Kerahkan semangatmu melawan rasa ngilu dan nyeri yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa kau perbuat", kata ibunya dengan sendu dan lembut.
Anak kerang pun melakukan nasihat bundanya. Ada hasilnya, tetapi rasa sakit terkadang masih terasa. Kadang di tengah kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya. Dengan air mata ia bertahan, bertahun-tahun lamanya. Tetapi tanpa disadarinya sebutir mutiara mulai terbentuk dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Rasa sakit pun makin berkurang. Dan semakin lama mutiaranya semakin besar. Rasa sakit menjadi terasa lebih wajar.
Akhirnya sesudah sekian tahun, sebutir mutiara besar, utuh mengkilap, dan berharga mahal pun terbentuk dengan sempurna. Penderitaannya berubah menjadi mutiara; air matanya berubah menjadi sangat berharga. Dirinya kini, sebagai hasil derita bertahun-tahun, lebih berharga daripada sejuta kerang lain yang cuma disantap orang sebagai kerang rebus di pinggir jalan.
**********
Cerita di atas adalah sebuah paradigma yg menjelaskan bahwa penderitaan adalah lorong transendental untuk menjadikan "kerang biasa" menjadi "kerang luar biasa".
Karena itu dapat dipertegas bahwa kekecewaan dan penderitaan dapat mengubah "orang biasa" menjadi "orang luar biasa".
Banyak orang yang mundur saat berada di lorong transendental tersebut, karena mereka tidak tahan dengan cobaan yang mereka alami. Ada dua pilihan sebenarnya yang bisa mereka masuki: menjadi `kerang biasa' yang disantap orang atau menjadi `kerang yang menghasilkan mutiara'. Sayangnya, lebih banyak orang yang mengambil pilihan pertama, sehingga tidak mengherankan bila jumlah orang yang sukses lebih sedikit dari orang yang `biasa-biasa saja'.
Mungkin saat ini kita sedang mengalami penolakan, kekecewaan, patah hati, atau terluka karena orang-orang di sekitar kamu cobalah utk tetap tersenyum dan tetap berjalan di lorong tersebut, dan sambil katakan di dalam hatimu.. "Airmataku diperhitungkan Tuhan.. dan penderitaanku ini akan mengubah diriku menjadi mutiara." Semoga........
Salam,
M. Isrok

No comments:

Post a Comment